Penyatuan Kalender Islam


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Hisab Rukyat, Kementeria Agama

[Ini naskah asli tulisan yang dimuat di Republika 22 Mei 2017]

Setelah beberapa tahun lalu ummat Islam Indonesia mengalami beberapa kali perbedaan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, kini selama delapan tahun sampai 1442 H/2021 M akan merasakan keseragaman. Bukan karena telah tercapai persatuan umat secara hakiki, tetapi karena posisi bulan yang memungkinkan keputusan pemerintah dan ormas-ormas Islam bersepakat. Selama ini sumber perbedaan bukan karena perbedaan antara hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan) hilal (bulan sabit pertama). Penyebab utamanya adalah perbedaan kriteria awal bulan.

Kriteria awal bulan adalah batasan ketinggian bulan dan parameter lainnya pada saat maghrib 29 bulan qamariyah (seperti Sya’ban) yang menjadi petunjuk bahwa hilal sudah dianggap dapat diamati atau menjadi pertanda masuknya awal bulan (seperti Ramadhan). Dua kriteria utama yang digunakan adalah kriteria Wujudul Hilal dan imkan rukyat (kemungkinan rukyat) ketinggian bulan 2 derajat. Kriteria Wujudul Hilal digunakan oleh Muhammadiyah, yaitu bulan dianggap telah di atas ufuk ketika bulan terbenam lebih lambat daripada matahari. Kriteria imkan rukyat 2 derajat digunakan oleh Pemerintah yang merupakan hasil kesepakatan ormas-ormas Islam (termasuk NU).

Ketika posisi bulan berada pada ketinggian antara 0 (wujudul hilal) dan 2 derajat sudah pasti terjadi perbedaan, seperti saat penentuan Idul Fitri 1432 M/2011 M. Pada kasus seperti itu, Muhammadiyah yang menggunakan kriteria Wujudul Hilal mengumumkan keesokan harinya sudah memasuki Idul Fitri. Tetapi pemerintah dan beberapa ormas Islam lainnya memutuskan Idul Fitri pada hari berikutnya. Perbedaan seperti itu menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat.

Pada saat “masa tenang” sampai 1442 H/2021 M Kementerian Agama bersama pakar-pakar hisab rukyat dari berbagai Ormas Islam dan lembaga astronomi terus berupaya untuk mencari titik temu. Menteri Agama telah menjalin komunikasi dengan ormas-ormas Islam, terutama Muhammadiyah dan NU, untuk mengupayakan titik temu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun membentuk Tim Pakar Astronomi untuk merumuskan kriteria baru yang diarahkan untuk memberi solusi perbedaan kriteria, sebagai implementasi rekomendasi dalam Fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004. Adakah hasilnya? Ada indikasi rumusan baru kriteria akan memberi solusi. Penyatuan kalender Islam nasional selangkah lagi, bahkan bisa diperluas untuk tingkat regional (ASEAN) dan global.

 

Kriteria Baru

Tim pakar astronomi dari LAPAN, ITB, BIG, Planetarium, dan UPI yang dibentuk oleh MUI Agustus 2015 lalu telah mengkaji data astronomi kesaksian hilal secara global. Tim berpendapat kriteria Wujudul Hilal dan kriteria ketinggian 2 derajat tidak sesuai dengan data astronomis. Jadi perlu diganti dengan kriteria baru yang didasarkan pada data sahih astronomis. Kriteria baru juga harus memperhatikan ketentuan syar’i (ketentuan agama Islam), yaitu awal bulan dimulai bila saat maghrib bulan telah memungkinkan bisa dirukyat.

Data astronomi menunjukkan bahwa ketampakan hilal secara global tidak mungkin ketika posisi bulan terlalu dekat dengan matahari, karena hilal masih terlalu tipis. Batas minimal jarak bulan-matahari berdasarkan data astronomi adalah 6,4 derajat. Analisis data astronomi posisi bulan menunjukkan juga bahwa bila jarak bulan-matahari kurang dari 6,4 derajat, pada saat maghrib umumnya masih berada di bawah ufuk. Data kesaksian hilal global juga menunjukkan bahwa tidak ada kesaksian hilal bila beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat. Hal ini beralasan, karena bila terlalu dekat dengan ufuk, cahaya senja masih cukup terang sehingga akan mengganggu ketampakan hilal.

Atas dasar analisis data astronomi tersebut, diusulkan kriteria baru: jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat dan beda tinggi bulan-matahari minimal 4 derajat. Kriteria itu adalah batas minimal agar hilal cukup tebal untuk mengalahkan gangguan cahaya senja. Sayangnya, kriteria belum bisa ditetapkan oleh MUI pada saat Munas 2015 di Surabaya. Padahal kalau kriteria itu ditetapkan akan menyempurnakan fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004 sehingga bisa menjadi menjadi pedoman bersama pemerintah dan ormas-ormas Islam.

Upaya lain yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah menindaklanjuti keinginan forum negara-negara MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) untuk mengubah kriteria lamanya. Kriteria lama MABIMS adalah tinggi bulan minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat atau umur bulan minimal 8 jam. Kriteria MABIMS tersebut yang juga menjadi rujukan pemerintah sampai saat ini.

Pada pertemuan teknis MABIMS pada Agustus 2016 akhirnya dirumuskan usulan perubahan kriteria MABIMS. Usulan kriteria baru MABIMS tersebut adalah tinggi bulan minimal 3 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat. Usulan kriteria tersebut pada dasarnya identik dengan dengan usulan kriteria Tim Pakar Astronomi tersebut di atas. Karena ketinggian matahari saat terbenam adalah minus 50 menit, maka dengan beda tinggi bulan-matahari 4 derajat identik dengan tinggi bulan 3 derajat 10 menit yang dibulatkan menjadi 3 derajat.

Jadi, usulan kriteria baru untuk diterapkan secara nasional Indonesia dan regional di negara-negara MABIMS adalah jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat dan ketinggian bulan minimal 3 derajat.

 

Penyatuan Kalender

Suatu sistem kalender dibangun atas dasar kesepakatan dengan tiga syarat: ada otoritas tunggal yang menjaganya, ada kriteria yang disepakati, dan ada batas wilayah keberlakuanya. Tiga syarat itu berlaku juga berlaku pada sistem kalender Masehi yang saat ini menjadi kalender internasional. Otoritas awal kalender Masehi adalah Paus di Roma. Kriteria yang digunakan adalah kriteria Gregorius, yaitu adanya tahun kabisat setiap 4 tahun yang angkanya kelipatan 4, kecuali pada tahun yang kelipatan 100, seperti 1700, 1800, dan 1900.

Kalender Islam pun kalau ingin menjadi kalender yang mapan harus memenuhi tiga syarat tersebut. Saat ini otoritas tunggal belum terwujud. Di tingkat nasional pemerintah belum menjadi otoritas tunggal, masih ada otoritas pimpinan ormas Islam. Kriteria pun belum tunggal, setidaknya saat ini ada kriteria wujudul hilal dan kriteria ketinggian 2 derajat. Untungnya batas wilayah sudah disepakati, yaitu seluruh wilayah Indonesia dianggap sebagai satu wilayah yang utuh.

Bagaimana mewujudkan kalender Islam yang mapan? Kita mulai dari tingkat nasional. Semua pihak, terutama ormas-ormas Islam, harus menyatukan tekad menentukan otoritas tunggal nasional. Posisi yang tepat untuk otoritas tunggal adalah Pemerintah. Dengan otoritas nasional adalah Pemerintah, itu juga memudahkan dalam menentukan otoritas di tinggat regional yang saat ini lebih tepat diserahkan kepada otoritas kolektif forum MABIMS. Untuk tingkat global, otoritas global juga berupa otoritas kolektif antar-pemerintah dalam wadah OKI (Organisasi Kerjasama Islam).

Kriteria yang sudah disepakati oleh pertemuan teknis MABIMS bisa dijadikan sebagai kriteria nasional dengan kesepakatan seluruh ormas Islam dan diperkuat dengan fatwa MUI yang memperkuat fatwa nomor 2 tahun 2004. Kriteria nasional menjadi rujukan Menteri Agama sebagai wakil Pemerintah untuk menetapkan kalender Islam, termasuk dalam penetapan (itsbat) awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Adopsi kriteria tersebut, sekaligus bisa ditindaklanjuti untuk menetapkan kriteria baru MABIMS di tingkat regional. Dalam hal ini, batas wilayah di tingkat regional adalah seluruh wilayah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Kriteria MABIMS tersebut juga diusulkan untuk diterima menjadi kriteria global, menyempurnakan kriteria hasil Kongres Kalender Islam Internasional di Turki Juni 2016. Kriteria Kongres Turki adalah tinggi bulan minimal 5 derajat dan jarak bulan-matahari 8 derajat. Kriteria itu bisa diberlakukan di mana pun di dunia selama waktu di Selandia Baru belum terbit fajar. Tetapi kriteria Turki tersebut akan sulit diterima, karena pada saat kriteria tersebut terpenuhi di benua Amerika, posisi bulan di wilayah Asia Tenggara masih berada di bawah ufuk.

Bila menggunakan kriteria baru MABIMS dengan rujukan wilayah (markaz) Indonesia sebagai negara MABIMS yang merentang paling Barat, maka bulan di wilayah paling Timur (Samoa) secara umum sudah di atas ufuk. Kondisi seperti itu sejalan juga dengan kalender Islam global yang diusulkan Muhammadiyah dengan kriteria Wujudul Hilal global. Jadi, kriteria baru juga sekaligus mempersatukan ormas-ormas Islam yang sebelumnya berbeda kriteria, karena kriteria baru juga sekaligus mengakomodasi para pengamal rukyat karena didasarkan pada data-data rukyat yang sahih dan bisa dijadikan sebagai rujukan kegiatan rukyat.

Batas tanggal kalender Islam global bisa merujuk hasil kongres Turki yang mengusulkan kalender Islam global menggunakan batas tanggal internasional. Penggunaan batas tanggal internasional akan menjamin kesamaan hari untuk tanggal kalender Islam yang sama. Misalnya, 1 Ramadhan 1438 di Indonesia jatuh pada Sabtu, maka diseluruh dunia juga jatuhnya pada Sabtu.

Jadi rumusan kalender Islam nasional, regional, dan global menggunakan tiga syarat: (1) otoritas tunggal pemerintah (tingkat nasional), MABIMS (regional), dan OKI (global), (2) kriteria jarak bulan-matahari 6,4 derajat dan tinggi bulan 4 derajat, (3) batas tanggal kalender Islam sama dengan batas tanggal internasional.

Satu Tanggapan

  1. ia pak harus ada satu otoritas tunggal.
    namun sepertinya dalam penentuan awal dan akhir ramadhan mau tidak mau mengacunya harus pada tuntunan hadist. Jadi dasar penetapannya ya harus hadist itu bukan pada derajat.
    sekarang jika di indonesia 6.4 derajat tapi terjadi hujan gimana tetap tidak terlihat, terus di malaisia tidak hujan jadi bulan terlihat. gimana.

Tinggalkan komentar