Pemerintah Dihadapkan Pada Pilihan Sulit Soal Freeport, Apa Solusinya?

Pemerintah Dihadapkan Pada Pilihan Sulit Soal Freeport, Apa Solusinya?

Michael Agustinus - detikFinance
Minggu, 19 Feb 2017 09:43 WIB
Mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu (Foto: Ari Saputra)
Jakarta - Masalah Freeport sungguh rumit, pemerintah dihadapkan pada berbagai pilihan sulit. Apapun yang dilakukan serba salah. Kalau pemerintah bersikap lunak akan dianggap membela kepentingan korporasi asing. Tapi jika bersikap keras, akan berdampak negatif pada situasi sosial dan perekonomian di Papua, negara juga bisa diseret ke Arbitrase oleh Freeport.

PT Freeport Indonesia telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan. Jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut goyang. Lebih dari 90% pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Mimika, sekitar 37% PAD Provinsi Papua berasal dari Freeport.

Puluhan ribu pekerjanya pun mengancam akan menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tak segera memulihkan kegiatan produksi Freeport.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

Pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.

IUPK bukan kontrak, posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasaan negara terhadap kekayaan alam.

Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).

Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51% karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain.

Beredar informasi, Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.

Apa solusi untuk menyelesaikan masalah ini?

Mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu, menyarankan agar pemerintah tidak bersikap terlalu keras memaksakan kehendak pada Freeport. Harus hati-hati agar sengketa tidak sampai berlanjut ke Arbitrase.

Sebab, salah satu pemilik saham terbesar Freeport adalah orang dekat Presiden AS Donald Trump. Dengan kebijakannya yang proteksionis, Trump kemungkinan besar akan sangat melindungi kepentingan perusahaan AS di luar negeri. Jika terjadi sengketa, yang akan dihadapi pemerintah Indonesia bukan hanya Freeport, tapi mungkin juga pemerintah AS.

"Pemilik saham terbesar Freeport adalah penasihat Trump, kita harus hati-hati. Betul-betul simalakama, kalau pemerintah lunak dianggap memihak Freeport, kalau keras bisa Arbitrase," kata Said Didu saat dihubungi detikFinance, Sabtu (18/2/2017).

Menurutnya, mau tak mau pemerintah harus merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017) untuk mengakomodasi keinginan Freeport. Konsekuensinya, pemerintah pasti akan dicibir pro asing, tidak konsisten, lemah, dan sebagainya.

Tapi untuk menghindari kerugian yang lebih besar, pemerintah harus siap tidak populer. Freeport punya posisi kuat dalam KK. Ketentuan dalam KK boleh dibilang setara dengan Undang Undang. Aturan seperti PP, apalagi yang lebih rendah, tidak dapat membatalkan KK.

"Saya khawatir, PP harus diganti lagi. Ini betul-betul simalakama," ujarnya.

Solusi lain dengan konsekuensi lebih buruk, bisa saja Presiden Joko Widodo (Jokowi) terpaksa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk mengganti Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). "Bisa-bisa Presiden terpaksa mengeluarkan Perppu," ucapnya.

Said Didu menyebut ada 3 masalah besar terkait Freeport yang harus segera dipecahkan pemerintah melalui revisi PP atau penerbitan Perppu, yaitu stabilitas dan kepastian untuk investasi yang diminta Freeport, izin ekspor konsentrat, dan divestasi saham.

Kalau pemerintah dan Freeport tak bisa mencapai titik temu untuk 3 masalah ini, situasi sosial dan ekonomi di Papua bisa kacau. Ini yang benar-benar harus dihindari. "Dampak sosial ekonomi di Papua menurut saya paling krusial," tutupnya. (mca/dna)