Sabtu, 25 Desember 2010

GAGASAN DAN REAKTUALISASI MEMBANGUN BANYUWANGI KEMBALI

 
Oleh: Ir. H. Samsul Hadi


Saya tidak bisa menulis dengan baik, menyampaikan gagasan dan pemikiran melalui tulisan. Oleh karena itu, maka tulisan yang Anda baca ini adalah tulisan yang ditulis dari “grenengan” (gerundelan) dari ocehan saya.

Jadi begini. Saya ada pemikiran dan gagasan yang akan saya mulai dari sepetik syair lagu “Podo Nonton” (syair Banyuwangi kuno) dan “Umbul-Umbul Blambangan” (syair ciptaan: Andang Cy.). Petikan syair “Podo Nonton” itu dituliskan:

Lare angon
Paculono gumuk iku
Tandurono kacang lanjaran
Sak unting kanggo perawan

Petikan syair “Umbul-Umbul Blambangan” diungkapkan:

Banyuwangi kulon gunung wetan segoro
Lor lan kidul alas angker
Keliwat-liwat…

… … …

Akeh prahoro taping langit iro mageh biru yoro

… … …

***

Banyak yang mengeluh kepada saya; “Kang Samsul, Banyuwangi dedegan. Kelendi iki, Kang?” (Kang, Banyuwangi kacau. Bagaimana ini, Kang?). Lho! Yang merasakan Banyuwangi ini rapi atau berantakan, tentu bukan orang-orang yang jauh-jauh datang dari luar Banyuwangi. Yang merasakan langsung adalah kita, yang tinggal di Banyuwangi. Bagaimana saya akan menjawab pertanyaan itu, lha saya sendiri dipenjara. Memang saya pernah menjadi bupati Banyuwangi, sekuat tenaga saya menata Banyuwangi. Setelah itu, masih tertata atau tidak, tanyakan sana pada yang sudah-sudah. Saya meninggalkan sesuatu bagi rakyat Banyuwangi. Mereka sendiri yang ngomong ke saya, bahwa ada yang saya tinggalkan untuk mereka. Terserah ditafsiri itu warisan Samsul yang baik atau yang jelek, saya tidak mau menilai, sebab saya sendiri sudah tidak sekolah. Biar sejarah yang menilainya. Dan sejarah itu tidak bisa ditaklukkan oleh kekuasaan atau oleh “ngaclak”-nya siapa pun! Saya hanya berusaha menjadi “khairun naas ‘anfa’uhum lin naas” (“sebaik-baik manusia yang baik adalah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya: Hadits Nabi). Apakah saya berhasil? Saya tidak tahu, karena Tuhan belum memberitahukan soal penilaian akan hal itu kepada saya.

Soalnya hanya satu: Banyuwangi. Kalau sampeyan “mbangun” Banyuwangi, sampeyan tidak bisa menyamakan seperti membangun daerah lain. Ini beda! Banyuwangi punya keunikan tersendiri dibanding daerah lain, Jakarta, misalnya, Solo, Jember, Bali, dan lain-lain. Tidak sama! Lihat saja, orang yang mengira membangun Banyuwangi mirip atau sama saja seperti membangun Bali, misalnya, kayak apa Banyuwangi jadinya? Tidak usah dicari-cari. Lihat dan rasakan sendiri dengan jujur.

Banyuwangi itu “kulon gunung wetan segoro”. Letak gunung dan laut kita tidak jauh. Dari pantai Boom (THR) sampai ke Banjarsari, hanya berapa kilo saja. Dekat. Dekatnya jarak antara laut dan gunung kita adalah keuntungan tersendiri, air menguap di laut lalu langsung ditampung di atas gunung. Ini mempermudah kita dapat air bersih, pertanian yang bagus, dan transaksi ekonomi yang lancar. Saya katakan, pusat ekonomi yang besar di Banyuwangi bukan di supermarket-supermarket mewah. Pusat ekonomi yang besar itu terletak di pasar-pasar tradisional kita; pasar Banyuwangi, Cungking, Karangrejo, Genteng, Wongsorejo, dan lain-lain. Kapan? Titiknya tepat pada jam 3 dini hari sampai jam 6 pagi. Betapa cepatnya transaksi yang terjadi. Berapa jenis barang yang dijual, banyak! Berapa ratus juta uang yang berputar di sana dengan jarak waktu antara jam 03.00 sampai 06.00? Bandingkan dengan supermarket-supermarket mewah itu! Justru di pasar-pasar tradisional itulah roda perekonomian kita jalan. Saya merasa lega ketika pernah duduk di teras rumah, lalu melihat gerobak-gerobak digandeng sepeda motor pada dini hari jam 03.00 dibawa ke pasar. Lega dan terharu hati saya. Subhanallah.. Artinya, bahwa roda ekonomi rakyat kita berjalan dengan baik dan mandiri dan dengan sendirinya. Mereka tidak mendapatkan uluran tangan dari kekuasaan formal di Banyuwangi, tapi mereka ada, eksis, dan hidup.

Kearifan budaya dan kekuatan ikatan sosial rakyat Banyuwangilah yang menyebabkan bahwa rakyat Banyuwangi adalah rakyat yang mandiri. Sampeyan kalau mau mencalonkan diri sebagai bupati tahun 2010, tidak usah pakai visi-misi yang membingungkan dan sangat teoritis. Rakyat sudah mandiri! Sampeyan hanya perlu mengembangkan apa-apa yang telah dikerjakan rakyat dengan gagasan cemerlang yang diinspirasi dari kearifan rakyat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dan untuk menarik simpati atau dukungan rakyat, sampeyan juga tidak perlu susah-susah dengan event-event dan silaturahmi-silaturahmi politik dengan pidato, pasang foto besar-besar di koran sambil cengengesan. Yang perlu sampeyan lakukan adalah turunlah kepada rakyat dengan hati yang sedekat-dekatnya, dengan niat baik, masuk ke dalam jalinan sosial-budaya rakyat secara sederhana. Tanpa besar-besar spanduk sampeyan, tanpa besar-besar iklan-iklan adventorial sampeyan, maka akan besar dukungan kepada sampeyan. Jangan menipu rakyat, karena rakyat tahu kalau dia sedang ditipu. Iki Banyuwangi, Lek! Sampeyan pidato dan ngomong yang enak-enak, rakyat hanya akan menjawab: “Enggeh, Pak.. enggeh, Pak..”. Sampai di rumahnya, kepada isterinya atau kepada suaminya masing-masing, rakyat Banyuwangi itu akan bilang: “Kooo… dhurung dadi bupati baen wes ngaclak! Alah.. alah.. asem nawi wes…”. Lho?! Sampeyan gak percaya? Periksa saja! Maka, lho kok ada calon bertamu ke rumah bakul sayur? (ha ha ha ha ha… nagud nawai!). Terlalu besar pasang foto di koran dan spanduk, rakyat Banyuwangi kalau melihat spanduk, mulutnya akan berbunyi: “Eee… potreke kari gedi, lare…”. Kalau lihat koran, rakyat gak baca koran, koran jadi bungkus apem. Di radio. Rakyat Banyuwangi kalau mendengarkan radio, gelombangnya lagu Banyuwangenan. Jadi, kampanye di situ kurang efektif walaupun juga perlu sebagai gagah-gagahan.

Rakyat Banyuwangi itu sangat “ndulur” (memiliki ikatan sosial yang kuat). Misalnya, saya bermusuhan dengan sampeyan. Lalu, saya mendengar orangtua sampeyan meninggal dunia. Maka, walaupun saya bermusuhan dengan sampeyan, saya tetap akan datang untuk melayat ke rumah sampeyan. Di hati saya tidak akan memungkiri bahwa yang meninggal dunia adalah orangtua sampeyan yang adalah orang yang pernah baik dengan saya. Ini luar biasa! Tidak ada dendam kesumat di dalam hati rakyat Banyuwangi. Saya tahu sendiri, lha wong saya orang Banyuwangi yang lahir besar di sini. Kalau orang Banyuwangi itu sudah baik dengan sesamanya, maka apa pun yang diinginkan saudaranya ia akan memberikannya untuk kebahagiaan saudaranya. Sampeyan tidak perlu mengambil kayu kelapa di kebun orang Banyuwangi, kalau sampeyan sudah baik (ndulur) dengan mereka, maka kayu kelapa itu akan diantarkan sendiri ke rumah sampeyan. Mau Muludan (peringatan Maulid Nabi Muhammad), kalau sampeyan ke Sgobang, sampeyan akan menemui pada malam hari, rakyat “mbubuti” (mencabuti) bulu ayam untuk peringatan Muludan besok. Memotong pohon pisang, ditusuki bambu dengan telor ayam. Ayam yang mereka potong gemuk-gemuk. Orang Banyuwangi tidak “emanan” (tidak pelit). Jor-joran! Tapi, bukan boros. Nah kalau sampeyan pelit, apalagi mau nyalon bupati pelit. Maka, orang Banyuwangi akan bilang; “Genengno baen wes…! Acake tah wes, arep nong endi ikau..?!” Ha ha ha ha.. Jenaka sekali rakyat Banyuwangiku tercinta ini.

JALER

Jaler adalah Bahasa Jawa. Artinya “lelaki” tulen. Maksdunya di sini, rakyat Banyuwangi memiliki jiwa yang “lelaki” tulen. Jantan! Gak mau “lempar batu sembunyi tangan”, atau tidak melakukan segala hal tanpa bertanggungjawab. Kawinnya saja “kawin lari” (Melayokaken). Itu jantan namanya! Maka, tentu dibutuhkan seorang pemimpin yang “jantan” dan bukan banci. Maksudnya plin-plan, wanita gak jelas, laki-laki gak tegas.

Sebagaimana dalam syair “Podo Nonton”, begini:

Lare angon
Paculono gumuk iku
Tandurono kacang lanjaran
Sak unting kanggo perawan

Anak gembala
Cangkullah bebukitan itu
Tanamilah kacang panjang
Seikat buat sang perawan

Kita perlu pemimpin yang “menggembalakan” dengan penuh tanggungjawab, mengayomi, dan mencintai Banyuwangi (mencintai dan dicintai rakyatnya). Yang pintar sampai punya rentengan gelar sudah banyak, yang “munyak-munyik” (cengar-cengir) sudah dedegan (berlimpah), yang sro’ol (ngawur) juga sudah pernah, yang kaya raya juga ada (nah kalau tidak kaya, nyalon bupati kan lelucon). Tapi, yang mencintai rakyat, ini masih belum ada. Tinggal satu ini saja: mencintai rakyatnya. Yang mencintai kambing-kambing gembalaannya. Yang gigih dan bekerja keras menanam di atas bukit, dan yang dermawan serta menyerahkan hak-hak rakyat pada pemiliknya, meletakkan amanat pada tempatnya, hasil-hasil kerjanya hanya buat rakyatnya (sang perawan).

Rakyat Banyuwangi adalah rakyat yang mandiri dan kuat struktur sosialnya, budaya dan pondasi penghidupannya. Banyuwangi secara geografis juga melimpah potensi alamnya. Kita punya air yang bersih dan banyak, sawah, perkebunan, hasil-hasil laut dan letak laut yang istimewa di antara selat Bali dan samudera internasional. Potensi pariwisata alam dan pariwisata budaya. Rakyat yang guyub dan kuat, bukan pemalas. Kita tahu, Banyuwangi seringkali menjadi pusat geger. Sejak masa Banyuwangi hendak berdiri sebagai wilayah kabupaten (di masa Blambangan), yakni sejak Kerajaan Tawangalun sebagai kerajaan Hindu terakhir di Banyuwangi. Pergolakan politik sangat dahsyat dengan tokoh-tokohnya Agung Wilis, Rempeg Jogopati, dll. Terjadilah perang yang konon soal perempuan, rebutan gundik. Rakyat tetap tidak tergoyahkan. Hingga berdirinya Banyuwangi di bawah kepemimpinan Mas Alit yang banyak membela rakyat dengan kebijakan-kebijakan politiknya, hingga beliau dibunuh orang-orang VOC di tengah jalan. Sejak tahun 1965 hingga tahun terkini. Lagu “Genjer-genjer” ciptaan Moh. Arif dari Temenggungan menjadi lagu yang populer sampai ke Vietnam, Rusia, Cina, dan negara-negara Eropa lainnya, juga suara Mbok Temu’ mendobrak Eropa dengan nada yang unik dan khas. Geger politik 1965 juga menyeret Banyuwangi dalam sebuah pergulatan politik yang luar biasa, bahkan mengerikan. Tahun 1998 muncul tragedi pembunuhan dukun santet, Banyuwangi bergolak lagi. Tapi, Banyuwangi tidak mengalami depresi sosial-budaya. Kenapa? Karena rakyatnya kuat. Inilah benar: “Akeh prahoro, taping langitiro mageh biru yoro”.

Rakyat kita tidak pernah mengalami kelaparan dan belum ditemukan busung lapar di Banyuwangi. Walaupun tetap kita harus sadar bahwa kondisi ekonomi rakyat kita masih perlu dibopong oleh kekuasaan yang memihak kepada rakyat. Ini artinya, siapa pun yang berkuasa dan yang mau berkuasa harus mengerti jatidiri tugas utamanya, yakni memihak rakyat dan membela yang lemah, menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Orang Banyuwangi adalah orang yang mencintai kebenaran, blak-blakan (paran anane), tegas, dan berani.

Banyuwangi punya modal sejarah dan budaya serta potensi alam yang luar biasa. Rakyat kita tidak terbiasa hidup individualistik. Mereka memiliki kearifan hidup yang mereka jalankan menurut budaya mereka masing-masing, ada Madura, Bugis, Mataraman, Using, Melayu, dll. Kita majemuk. Dan dengan kemajemukan itu kita berjalan. Hidup. Tidak dihidupi. Tapi, hidup secara mandiri. Yang tidak mandiri itu kan yang bergantung pada sistem kekuasaan soal proyek. Uang gak segera cair, kelimpungan. Itu segelintir elit. Sedangkan rakyat kita umumnya tidak. Rakyat kita seolah-olah tidak butuh Pemkab, seolah-olah tidak butuh bupati, rakyat “dilepaskan” saja sudah hidup dengan kuat. Rakyat hanya butuh orang-orang yang dengan tulus mengembangkan segala usaha-usaha mereka di dalam menjalani kehidupan sosial-budaya dan penghidupan mereka. Walaupun seolah-olah rakyat tidak butuh bupati dan Pemkab, tapi secara niscaya mereka tetap berada dalam sebuah aturan yang mengharuskan mereka punya pemimpin formal dan sistem formal yang mengayomi hidup orang Banyuwangi. Artinya, pemimpin formal atau calon pemimpin Banyuwangi harus memahami ini. Keberadaan pemimpin dan calon pemimpin formal musti menjadi bagian dari kebutuhan rakyat Banyuwangi. Menjadi satu tubuh yang “ndulur” dengan mesra. Dengan demikian, maka siapa pun ia, ia akan didukung rakyat Banyuwangi dan menjadi andalan rakyat.

Ayo, dulur-dulur… Ayo bersama-sama dengan satu niat yang baik untuk membangun Banyuwangi, mencintai dan dicintai rakyat Banyuwangi. Kita butuh pemimpin yang sederhana, tulus, jujur, mencintai dan dicintai rakyat. Kita tidak hanya butuh Pilkada sebagai pesta pora demokrasi Banyuwangi. Lebih dari itu, kita harus bermain dengan baik, beretika, dan jangan melanggar aturan-aturan yang ada. Mengharapkan dan mencari sesuatu yang baik dan diridhoi Tuhan dalam hal apa pun (bahkan dalam hal politik praktis), bukanlah mimpi siang hari. Ini adalah cita-cita luhur kita, yakni manusia yang beretika dan sadar bahwa ia adalah seorang manusia, bukan hewan, bukan robot, dan bukan celeng.

Ayo, dulur-dulur… Isun lan riko kudu yakin, urip iki mageh tetep melaku lan biso berubah lebih apik maning, kanggo urip ring Banyuwangi, tanah kelahiran tercinta, kanggo anak lan putu isun lan riko kabeh.

Saya mau menyanyikan petikan lagu “Umbul-umbul Blambangan” ciptaan Andang Cy. itu:

He… Blambangan… lir asato banyu segoro…
Sing biso asat asih setyo bhaktinisun…

Hang sopo-sopo baen arep nyacak ngerusak…
Sunbelani sundepani sunlabuhi…

(He.. Blambangan.. walaupun kering air lautan…
Tidak akan bisa kering kasih setia dan bhaktiku…

Siapa pun saja yang akan mencoba mengusikmu…
Aku akan menghadapinya, aku membelamu dan aku sebagai tumbalnya…)

Njenggirato Maning, Lare…!

Banyuwangi, 2009

3 komentar:

  1. isun siap njenggirat maning kang............

    BalasHapus
  2. Isun siap jenggirat, hing mung jenggirat ...
    tapi langsung tandang gawe....
    masio isun dudu lare using asli....
    siap Kang Samsul...
    Aja kuatir
    Hang sopo-sopo byaen... arep nyacak ngerusak
    sun belani sun depani ...sun labuhi....
    ( heheheheh.. kadung hing salah gedigu unine )

    BalasHapus
  3. Tikisane apik, isun demen,
    Banyuwangi jenggirat tangi

    BalasHapus