Dipaksa makan kotoran kucing: Kisah pekerja domestik di negeri sendiri

  • Mehulika Sitepu
  • Wartawan BBC Indonesia
Ani, "Mata Ani katarak, hidung Ani patah, mulut Ani sumbing. Ani juga kena penyakit TB karena kotoran kucing."

Sumber gambar, LITA ANGGRAINI

Keterangan gambar, Ani, "Mata Ani katarak, hidung Ani patah, mulut Ani sumbing. Ani juga kena penyakit TB karena kotoran kucing."

Selama ini berita tentang tenaga kerja Indonesia yang diperlakukan tidak manusiawi di luar negeri kerap diangkat.

Namun apakah para tenaga kerja ini telah diperlakukan dengan layak di negeri sendiri? Inilah keluh kesah mereka.

Sri Siti Marni yang biasa dipanggil Ani, mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) begitu lulus SD pada 2007. Awalnya majikannya ‘M’, memperlakukannya dengan baik, bahkan memintanya untuk memanggil majikannya dengan ‘Mama’.

Namun sejak 2009, majikannya mulai memukulinya hingga dia sering lebam. Bahkan Ani pernah diperintahkan untuk menyantap kotoran kucing.

"Ani disuruh makan kotoran kucing. Dibilangnya Ani gak bersihin kandang kucing. Jadinya Ani dimasukin ke dalam kandang kucing. Terus disuruh makan kotoran kucingnya. Makanan kucingnya disuruh dimakan. Minuman kucing disuruh diminum," kata Ani.

Perempuan itu mengaku tinggal bersama majikannya hingga sembilan tahun karena takut. Selama periode itu, dia mengklaim pernah diseterika dan disiram air panas.

Suatu waktu, saat majikannya ke luar kota, Ani ditinggal dengan keponakannya. Majikannya mendapat laporan bahwa Ani menghabiskan waktu di dalam kamar bersama keponakannya, padahal menurut Ani, dia hanya mengantarkan teh.

Ani pun dipukuli agar mengaku. “Ani dipukuli terus sama Ibu ‘M’ sampai berdarah-darah. Sampai kemaluan Ani dicabaiin, muka Ani dicabaiin. Dipukuli sampai berdarah-darah sampai nangis kejer. Kalau Ani gak ngaku, terus Ani dipukuli. Ani ngaku juga terus Ani dipukuli," cerita Ani.

Pada 2009, Ani diajak ikut ke Jawa Tengan oleh majikannya. Setiba di hotel, ‘M’ memaksa Ani mengaku jika dia menyukai suaminya. Karena tidak ingin dipukuli lebih banyak, Ani pun setuju. Suami ‘M’ pun memukuli dan menendangi Ani hingga mukanya berdarah.

“Mata Ani katarak, hidung Ani patah, mulut Ani sumbing. Ani juga kena penyakit TB karena kotoran kucing," tutur Ani.

Di rumah majikannya, Ani mengatakan bahwa dirinya hanya memakai satu baju.

Ani yang disiksa sejak 2009 memiliki ingatan yang tajam meski badannya babak belur.

Sumber gambar, LITA ANGGRAINI

Keterangan gambar, Ani yang disiksa sejak 2009 memiliki ingatan yang tajam meski badannya babak belur.

“Baju sebenarnya yang dikasih banyak tapi yang boleh dipakai cuma satu. Mau basah, mau kering, mau kotor, mau gak, tetap saja itu satu. Kalau mau diganti, disuruh pakai kantong plastik, atau gak karung. Kalau gak koran atau telanjang bulat," paparnya.

Dipanggil 'anjing'

Bukan hanya perlakuan kasar, Ani pun kerap menerima perkataan kasar. Kata-kata seperti ‘anjing’ adalah panggilan yang biasa diterima Ani.

Meski demikian, Ami tidak berani mengadu ke orang lain.

“Ani ditekan. Kalau kamu berani cerita, kalau kamu berani keluar, melangkah sedikit saja, orang tua kamu akan masuk penjara. Kamu akan saya masukin ke septic tank, dipotong-potong”, kisah Ani.

Ani kemudian dititipkan ke kakaknya ‘M’, disana Ani mendapat perawatan. Keponakan majikannya kemudian menyuruhnya untuk kabur.

Sekembalinya ke rumah ‘M’, Ani kemudian nekat melarikan diri dengan menuruni tali kabel yang ada di lantai 3 rumah itu. Dengan bantuan tukang ojek, Ani akhirnya tiba di kantor polisi.

Saat ini, Ani ditempatkan di rumah aman (safe house). Kedua majikannya sedang menjalani proses hukum atas penyiksaan yang mereka lakukan.

Ludiah dan teman-teman dari SPRT Sapulidi.

Sumber gambar, LUDIAH

Keterangan gambar, Ludiah dan teman-teman dari SPRT Sapulidi.

Di rumah aman ini, Ani dipersiapkan untuk memulai hidup baru. Ketika diwawancarai, Ani terdengar cerdas. Dia memiliki ingatan yang tajam dan runut ketika bercerita.

Tidak dianiaya, namun tidak dianggap

Kisah Ani memang cukup ekstrem. Dianiaya selama bertahun-tahun, diperlakukan bak binatang.

Namun, banyak kisah PRT lain yang tidak dianiaya, namun tidak dianggap, baik oleh majikan maupun oleh masyarakat.

Ludiah misalnya. Dulu dia perrnah dilempar barang oleh majikannya jika berbuat kesalahan meski tidak sampai terluka.

Gajinya juga pernah tidak dibayar dan mendapat PHK sepihak sekitar delapan bulan yang lalu.

“Saat itu saya sakit. Saya izin, biasanya sih gak apa-apa. Eh dia (bos) marah-marah. Saya pun datang. Ternyata dia cuman mau bilang bulan depan gaji dipotong separuh dan dua hari ini sakit tidak dibayar. Kan rasanya kecewa. Kita udah gak dibayar BPJS dari bos, sakit malah dipotong. Saya nangis, saya masa bodo, saya pulang”, kisah Ludiah.

Selain itu, Ludiah juga mendapat perlakuan diskriminatif dari atasannya dengan tidak diperbolehkan menggunakan lift utama.

PRT kerap mendapat perlakuan diskriminatif, baik dari majikan maupun dari masyarakat.

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar, PRT kerap mendapat perlakuan diskriminatif, baik dari majikan maupun dari masyarakat.

“Harus lewat lift barang. Sementara kita kan mau menghemat waktu, kalau lewat lift barang jadi lama. Sementara nanti bosnya marah-marah kenapa lambat”, kata Ludiah.

Ada juga Insiyah, yang bekerja di rumah majikan lamanya pada Juli 2015 hingga Juli 2016. Pada saat dia mau pulang kampung, kedua majikannya sedang ke luar kota. Namun dijanjikan, gajinya akan dibayar setelah mereka kembali.

Namun hingga saat ini, gajinya selama 11 bulan bekerja belum dibayarkan.

“Saya masih di sini (Jakarta) karena bapak (majikannya) masih ada janji katanya minggu ini, minggu ini, coba saya tungguin dulu”, kata Insiyah.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Sementara Winarsih, tidak mendapatkan gaji selama dua bulan dan THR. Winarsih berkisah dia memiliki dua majikan yang merupakan orang asing yang mengajar di sekolah internasional.

Pada Juni 2016 lalu dia ditinggal selama dua bulan oleh majikannya ke luar negeri. Mereka berjanji untuk membayar gajinya setelah kembali, namun tidak pernah terwujud hingga saat. Pada Juli 2016, mereka justru memberhentikannya secara sepihak lewat SMS.

Ludiah yang aktif dalam SPRT (Serikat Pembantu Rumah Tangga) Sapulidi berkata, banyak teman-temannya yang tergabung dalam SPRT yang kerap mendapat perlakuan diskriminatif.

Bukan hanya dari majikan mereka, namun juga dari masyarakat.

Ada teman-temannya yang tidak boleh menunggu di ruangan tunggu apartemen atau sekolah.

“Jemput anak sekolah gak boleh di tempat tunggu harus di belakang. Sementara bos maunya kita standby, dekat sama anak. Jadi serba susah. Kalau ada apa-apa sama anak, kita yang diomelin sama bos, tapi sementara dari pihak sekolah atau Building Management tidak memperbolehkan di lobi atau di taman."

“Ini kan dari pihak Building Management, didukung juga oleh tenant (penghuni), kayak bos, harusnya bos jangan mendukung. Kalau ada apa-apa dengan anak kan, yang disalahin PRT", tambah Ludiah.

Ada juga temannya yang bekerja di apartemen. Ketika bosnya pergi, PRT dikunci dari dalam sampai nunggu mereka pulang.

Foto ini telah dibagikan lebih dari 57.000 kali dan menuai banyak reaksi, baik dari dalam dan luar negeri.

Sumber gambar, FACEBOOK MICHAEL FANNY

Keterangan gambar, Foto ini telah dibagikan lebih dari 57.000 kali dan menuai banyak reaksi, baik dari dalam dan luar negeri.

“Itu kan bahaya untuk PRT-nya”, kata Ludiah.

Kisah sejumlah PRT ini mengemuka di tengah maraknya perbincangan di media sosial terkait sebuah foto di Facebook tentang seorang pembantu rumah tangga (PRT) yang duduk sendirian saat keluarga majikannya sedang makan.

Foto yang diunggah Michael Fanny itu telah dibagikan lebih dari 57.000 kali dan menuai banyak reaksi, baik dari dalam dan luar negeri.

Banyak yang menyayangkan perlakuan diskriminasi yang diterima PRT yang terlihat masih sangat muda itu.

Seperti tulis Michael dalam akun Facebooknya, “Pembantumu bagian dari hidupmu. Cerminan kemanusiaanmu. Bayangkan Anda ada di posisinya, HP tidak pegang, diajak makan tidak.. Mata hanya mutar-mutar melihat sekeliling. Mereka yg kunyah kita ikut telan.”

Namun perlakuan diskriminatif terhadap para PRT di Indonesia sendiri bukan hal yang jarang terjadi.

Saat ini banyak PRT yang masih menuntut diberikan hari libur mingguan seperti yang sudah diatur dalam Permenaker.

Sumber gambar, LUDIAH

Keterangan gambar, Saat ini banyak PRT yang masih menuntut diberikan hari libur mingguan seperti yang sudah diatur dalam Permenaker.

Selain itu yang banyak dikeluhkan para PRT adalah hari libur. Banyak dari mereka yang bukan hanya tidak memiliki hari libur, namun harus ‘siap’ bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Lita Anggraini dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) berkata sebenarnya Kementerian Tenaga Kerja telah mengatur untuk memberi hak libur mingguan kepada para PRT lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker).

Namun, Permenaker ini tidak mengikat sehingga masih banyak PRT yang belum diberikan hari libur.

Memang para pembantu ini bekerja di sektor informal sehingga hukum tidak bisa mengikat dan mengatur bagaimana memperlakukan para PRT. Namun, setidaknya hak asasi manusia yang dijadikan patokan.