Berbagi Praktik tentang Kecurangan (Fraud)

Berbagi Praktik tentang Kecurangan (Fraud)

 Apakah kita boleh melakukan kecurangan sepanjang aksi dan tindakan yang kita lakukan tidak merugikan?

Kecurangan yang lebih dikenal dengan istilah #fraud meliputi penggelapan, pencurian, penipuan, dan pemalsuan (merujuk pada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Kecurangan merupakan niat dan aksi yang sengaja dilakukan untuk kepentingan pribadi tanpa memperdulikan kepentingan orang lain.

Dalam organisasi kecurangan dalam bentuk apapun merupakan hal yang tidak bisa ditoleransi dan konsekuensinya adalah pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, kecurangan dimasukkan sebagai salah satu unsur yang diatur dalam tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, GCG).

Bagaimana praktik kecurangan itu terjadi dalam organisasi kita? Seringkali kita mendengar orang melakukan kecurangan dan melakukan pembenaran atas kecurangan tersebut karena merasa aksi dan tindakan yang dilakukan tidak merugikan orang lain dalam bentuk material. Beberapa contoh praktis dari intepretasi etika atas kecurangan yang acap kali dibenarkan namun dianggap tidak merugikan. 

  • Apakah meminjam barang milik orang lain tanpa memberitahu adalah mencuri atau sekedar hal yang mesti dimaklumi karena barang tersebut akan dikembalikan tanpa disadari dan tidak merugikan pemiliknya?
  • Apakah meminta penggantian dari kantor atas biaya yang dikeluarkan secara berkelebihan dan tidak seharusnya dibebankan adalah penggelapan atau sekedar hal yang biasa karena  jumlah yang tidak material dan tidak merugikan?
  • Apakah membuat surat dengan kop surat kantor dan ditandatangani sendiri tanpa sepengetahuan pimpinan adalah pemalsuan atau sekedar hal yang biasa karena surat keterangan tersebut tidak merugikan?

 

Bila kita menilik lebih jauh dari sekedar praktik GCG, yaitu agama maupun tata kehidupan bermasyarakat, keduanya juga tidak mengajarkan kita untuk melakukan kecurangan dengan alasan apapun. Tidak ada pembenaran apapun atas hal tersebut.

Lalu seandainya kita melakukan kecurangan, Apakah kita mau hidup dengan pembiaran dan pembenaran atau kita mau mengakui kesalahan dengan hati terbuka tanpa mencari pembenaran terhadap kecurangan yang kita lakukan? Kata maaf yang tulus hanya bisa keluar bila kita menyadari kesalahan yang dilakukan. Namun, terkadang semakin kita pintar, kita mengabaikan bisikan hati nurani dan selalu berusaha mencari pembenaran atas tindakan kita… Jadi apakah kita mau bersikap abai atau sadar terhadap berbagai opsi kecurangan yang ada di depan mata kita.. Itu adalah pilihan hidup dan pada akhirnya kembali pada hati nurani kita masing-masing. DC | 2016

Pedro S

Don't lose the faith, keep praying and keep trying

7y

Terima kasih pencerahannya

Like
Reply
sri handayani

Dosen di Lembaga Administrasi negara

8y

Saya setuju... Jangan biasakan memudarkan makna, fraud itu ada dua dimensi, yang pertama adalah dari unsur penglihatan manusia, sehingga permintaan maaf dari hati yang tulus masih dapat diterima, namun dari dimensi yang tidak dapat dilihat dari kasat mata, Dimensi Illahiah, fraud tetap fraud. perhitungannyapun sangat teliti, dihisapnyapun tidak dapat dimanipulate. Setelah kita mampu untuk mengendalikan diri dari hal-hal yang syubhad, maka kebahagiaan dan ketenangan dapat kita raih. itu baru praktek GCG yang tepat. He...he....

Like
Reply
William Lim

CEO, TriAset Sdn Bhd

8y

Menarik Sekali, bu

Like
Reply
Subramaniam Anbanathan

Researcher, Consultant, and Advisor

8y

Agree.... fraud is fraud... no excuse lah...

Like
Reply
Bambang Priambada

Corp. Secretary & GM HRGA

8y

agree with you Bu...

Like
Reply

To view or add a comment, sign in

Explore topics