Sembunyi (Bagian 3)

dsc_1151_mangrove_information_center_denpasar_bali_25-11-8Malam itu aku terbangun dari sebuah bilik tidurku. Kali ini penjagaan plesiran ini sangat ketat karena malam minggu dan hingga hari senin pun masih libur. Pukul dua pagi aku berjalan keluar dan mencari makan. Saat itu, Ibu Pur sudah tidak buka, tapi Pak Somad membuka warungnya yang menjual mie instan. Aku pun ke sana dan lumayan ramai karena transaksi plesiran seperti ini di mana pun bisa, kecuali di luar kampung ini. Saat itu Boneng datang dan sudah mabuk berat membawa dua perempuan yang pernah kami bawa saat Boneng membunuh salah satu bawahan Yosep.

“Ini yang kuceritakan! Gelar! Kalian pasti senangkan dia ada di sini?” Tanya Boneng kepada dua perempuan itu. Mereka tak menjawab. Keduanya masih berumur remaja SMA sepertinya. Keduanya pun sepertinya berasal dari daerah yang sama, Manado. Aku pun mempersilahkan mereka duduk.

“Sana! Sana! Kalian kerja dulu, baru ke sini lagi.” Serunya kepada kedua perempuan itu

“Mereka berdua sudah disewa?” tanyaku

“Kau mau yang seperti itu? Aku panggilkan mereka lagi.” Jawabnya

“Sudah. Sudah. Tidak Usah. Aku cuma tanya.” Jawabku

“Mereka yang sudah jadi paket itu harganya mahal. Kalau dijual lebih mahal lagi, lar. Kau tau bagaimana aku bisa beli mobil? Dari hasil jualanku yang bagus Gelar. Maka Jadilah sepertiku! Ha..Haa.Haa…” Tawa Boneng

“Dengar- dengar ada anak menteri juga?” tanyaku sambil melihat kondisi

“Darimana kau tahu? Lalu apa yang beda antara anak tadi dengan anak menteri? Mereka sama- sama perempuan Gelar. Masa gitu saja kau tak tahu.” Jawabnya

Aku pun tak melanjutkan pertanyaanku kepada Boneng yang mabuk berat. Lapo kemudian datang.

“Pak, Saya ambil rokok sebungkus ya!” sambil melihat kepada kami.

“Oh iya, Po.” Jawab pak Somad

Lapo mendekati kami dan duduk di sebelah Boneng.

“Sudah malam ini, saatnya kalian tidur saja.” Kata Lapo sambil pandangan menyelidik ke arahku

Suara gaduh pun terdengar di belakangku. Aku dan Lapo langsung terbangun dan mencari suara. Sementara Boneng masih bergumam tak jelas dan mulai menyandarkan kepalanya di meja warung pak Somad. Suara gaduh itu semakin menjadi- jadi. Setelah aku dan Lapo ke sana, seorang laki- laki berbadan besar bahkan lebih besar daripada Lapo sedang mengamuk. Sepertinya ia sedang mabuk berat. Orang yang menghentikannya langsung dipukul olehnya. Seorang perempuan yang tadi kutemui sedang menangis sejadi- jadinya.

“Kalian pikir aku bodoh! Dia tidak perawan lagi! Aku dibohongi! Habis sudah pestaku malam ini karena perempuan bodoh ini!” serunya

 Lapo sebagai komandan tertinggi dalam pasukan keamanan Togar segera maju dihadapan orang itu. Lapo hanya membawa parang di pinggangnya. Sementara orang itu sudah memecahkan botol dan siap menusukkan kepada Lapo. Lapo yang tak takut langsung maju dan meninju rahang bawah orang itu. Orang itu pingsan. Aku pun tak habis pikir, bisa- bisanya orang itu berani masuk sini dan membuat gaduh seisi kampung ini yang isinya pun preman kelas petinju semua. Tak jauh dari keramaian itu, aku pun duduk di salah satu rumah yang dekat dengan keramaian itu. Aku tak menyadari bahwa salah satu rumah itu tidak pernah ramai para tamu. Kuperhatikan hanya Boneng dan Lapo saja yang sering masuk ke rumah ini. Tidak ada aktivitas plesiran seperti rumah lainnya. Aku pun mencoba masuk dan berpura- pura tidak tahu. Baru saja mau membuka, ternyata perempuan tak kukenali membuka pintu itu dari dalam. Wajah yang terrawat bersih, berkulit putih, berambut hitam lebat dan dikuncir menghampiriku.

“Ada apa mas ribut- ribut?” tanyanya

“Tidak tahu, mba.” Jawabku. Aku pun masih tidak mengetahui siapa dirinya. Sampai Lapo pun datang.

“Hush…sana kau masuk… sudah malam ini. Hanya perkelahian biasa.” Jawab Lapo sambil memastikan perempuan itu masuk ke rumah dan mengunci pintunya.

“Siapa itu, Lapo?” tanyaku. Ia tak menjawab

 “Kau coba masuk. Ku tebas leher kau.” Jawab Lapo sambil berbicara pelan ke arahku.

***

Aku dan Lapo yang tersisa jadi bulan- bulanan Togar. Sepertinya kali ini aku yang siap dibantai dia. Matanya sudah menatap dalam kepadaku. Boneng dan Borok sudah tewas kehabisan darah, aku pun juga sudah kehabisan akal supaya tidak terbunuh olehnya.

“Sebelum kau mulai, biarkan aku bertanya!” sentakku kepada Togar

“Silahkan kawan. Untuk terakhir kalinya, ku biarkan rahangmu bergerak. Habis ku menjawab, silahkan kau menitip salam pada kawan- kawan polisimu. Tak kan kubiarkan setiap pengkhianat hidup di sini!” jawab Togar

Aku pun mengumpulkan ludahku dulu yang sudah dipenuhi darah, setelah itu kubuang, dan ku mulai bicara.

“Kau kira, menculik anak menteri sudah cukup hebat?” tanyaku

“Kau tahu Yopri (preman) tewas karena apa? Dia dan kawannya membobol bank dan berhasil.” Lanjutku

“Kau pikir aku takut bobol bank? Lalu kenapa pula Yopri mati?” jawabnya

“Kau mau tahu? Borok dan Lapo lah yang menembaknya! Mereka tahu Yopri berhasi membobol bank, tapi tidak berhasil keluar membawa uangnya. Karena ada Mamakmu di Bank itu.” Kataku

Lapo hanya berdeham. Ia berusaha memalingkan kepalanya dari pembicaraan kami.

“Aku tahu bagaimana kau memberikan kepercayaan lebih kepada Yopri. Tapi hampir saja ia membunuh Mamakmu!” seruku

Togar langsung terdiam. Ia bingung harus berkata apa. Seketika itu Lapo menjawab.

“Yopri sudah kucurigai sejak lama, Bang. Ia penjilat kelas kakap. Kau sudah termakan ucapannya. Aku dan Borok mengikutinya karena ia membawa Mamakmu, Bang. Bagaimanapun Mamakmu, Mamakku juga dan Borok.” Kata Lapo

Togar langsung membuang becengnya. Ia berlari keluar. Sepertinya menuju Mamaknya. Aku dan Lapo berdua di tempat ini. Lapo menggerak- gerakkan kursinya. Aku pun hanya diam dan melihatnya. Seperti ia ingin melepaskan diri. Aku pun demikian mengikuti dirinya. Ia coba lepaskan tali yang mengikat tangannya. Dia ambil pisau milik Borok di sakunya. Kulihat usahanya membuka tali itu cukup besar, terlihat dari giginya yang menyerengit. Aku pun berusaha mencari beling yang tercecer di lantai. Punggungku tertusuk oleh beling- beling kecil itu. Usaha Lapo berhasil. Tangannya bebas dan berusaha membebaskan kakinya. Aku pun semakin cepat mengesek- gesekan beling itu ke taliku. Lebih sulit dari dugaanku. Lapo terbebas dan mengambil beceng Togar. Ia menodongkan kepadaku.

“Diam Kau disitu!” kata Lapo

Aku pun terdiam. Tapi aku pun masih berusaha menggesekan beling itu.

Dooor…. Ia menembakkan ke bahuku. Satu peluru sudah menancap.

“AHHHH…” teriakku menahan sakit

Tak lama kemudian suara tembakan terdengar berulang kali. Kali ini di luar. Lapo bergegas mengintip keluar. Ia tahu ada polisi yang siap menyergap tempat ini. Lapo yang kebingunggan menuju ke arahku dan siap menawan diriku. Baru berapa langkah, Lapo tertembak dari belakang. Ia masih hidup dan berusaha menuju ke arahku. Sementara itu, tangan kiriku mati rasa. Aku pun mulai mual lagi. Ueeeek…kumuntahkan itu di samping Boneng. Kepalaku sudah mulai pusing. Kali ini tak tahu kenapa. Darah sudah berceceran dari tempatku duduk hingga aku terjungkal seperti ini. Lapo pun terlihat tak bergerak, tapi masih bernafas, itu yang ku dengar.

***

Kelopak mataku sulit terbuka. Setelah kubuka, cahaya putih berada di atas. Aku yakin saat ini sedang berada di rumah sakit. Orang- orang mulai berkumpul di dekatku. Tubuhku kaku dan bahu kiriku terasa berat. Yah inilah, rumah sakit. Ayah dan Ibuku ada di sampingku. Mereka melihatku penuh haru. Di sampingnya, ada atasanku yang bergumam melihat ke arahku. Aku pun langsung berusaha menegakkan punggungku.

“Bagaimana Togar dan Lapo?” kataku

“Mereka tewas, begitu juga dengan Mamaknya.” Kata atasanku

“Operasi penyergapan ini sudah kami antisipasi semenjak temanmu, Boneng. Membunuh seseorang di Pelabuhan.” Lanjutnya

“Bagaimana anak menteri itu? Dia dalam keadaan baik?” tanyaku

“Yah, dia baik. Berkat teman kita, Borok. Ia sudah menjadi penyusup jauh sebelum kamu.” Kata atasanku. Aku terdiam dan sedikit kaget. Aku menatap wajah atasanku dan menyapu ke atas.

“Kami hanya ingin kamu fokus kepada kerjaanmu karena Borok juga yang menjagamu.” Katanya. Aku pun terdiam lagi.

“Permisi Ibu Bapak. Saya mau ambil darah dulu yah.” Kata seorang suster mengaburkan lamunanku. Mereka pun berdiri dan memberikan ruang bagiku dan suster.

“Saya ambil darah dulu ya. Untuk tes darah.” Kata suster itu

Seketika itu, aku melihat jarum suntik menancap dan menghisap darahku. Aku terbengong dan terdiam menatap darahku. Nikmat dan tak pernah senikmat ini dalam hidupku.

***


Leave a comment