Pembelaan & Jawaban Mantap atas Tuduhan: Salafiyyun Mutasyaddid/Keras!!!

Ternyata Asy-Syaikh Al-Albani mengakui: “Kita sendiri terkadang ~sebagaimana yang telah kita katakan~ yaitu saya, engkau dan orang lain terjatuh pada sebagian dari sikap KERAS.”



Tanya Jawab Bersama Asy-Syaikh Al-Albany ~rahimahullaah~

Pengantar:


الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاةُ وَالسَّلامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَبَعْدُ:

Kelembutan merupakan ciri menonjol dan akhlak yang dominan pada Nabi shallallahu alaihi was sallam, hanya saja terkadang beliau menggunakan cara keras dalam dakwah ketika hikmah menuntutnya. Sebagaimana disimpulkan oleh Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ~rahimahullaah~

والخلاصة: أن الشريعة الكاملة جاءت باللين في محله، والشدة في محلها، فلا يجوز للمسلم أن يتجاهل ذلك…

“Kesimpulannya: bahwa Syari’at yang sempurna membawa sikap lembut pada tempatnya, dan sikap keras (syiddah) pada tempatnya. Maka tidak boleh seorang muslim pura-pura bodoh tentang hal tersebut.”

Pada hari-hari ini kita menjumpai banyak orang-orang yang bermudah-mudahan dalam agama mereka mensifati salafiyun keras semuanya, tentunya kengawuran dan ketidakadilan dalam vonis tersebut tidak tersamar.

Di antaranya yang mendapat tuduhan sangat tajam adalah para masyaikh sunnah yang banyak membantah kebatilan dan para pengusungnya, misalnya Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh ‘Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, ~rahimahumullaah~. Kemudian pada akhir-akhir ini yang sangat gencar dituduh dengan mutasyaddid adalah Asy-Syaikh Al-‘Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali ~hafizhahullaah~.

Di antara yang gencar mempropagandakannya demi mendeskriditkan Asy-Syaikh Rabi’ ~hafizhahullaah~ adalah ‘Ali Hasan al-Halabi dan para pengikutnya. Bahkan sampai-sampai salah seorang Halabi tulen tegas mengatakan bahwa asy-Syaikh Rabi’ ini berpaham khawarij.[1] Lahaula wa la Quwwata illa billah!! Suatu tuduhan dan celaan yang sangat lancang dan berani dari pengucapnya.

Padahal, sikap keras apabila ditujukan terhadap ahlul bid’ah, maka itu merupakan manqabah (keutamaan).

Asy-Syaikh Al-Albani ~rahimahullaah~ telah menjelaskan pada materi ini tentang jauhnya tuduhan ini (yakni tuduhan bahwa Salafiyyin mutasyaddid), dengan menerangkan bahwa hikmah menuntut kelembutan di dalam dakwah kecuali karena ada tuntutan maslahat syar’iah, beliau juga menanamkan agar bersikap adil seakan-akan sebagai pondasi bagi pendidikan sebagai percontohan.

Dan kita akan melihat apakah Halabiyun tersebut akan tetap kokoh konsisten dengan prinsip mereka sebagaimana halnya ketika menjarh Asy-Syaikh Rabi’ dengan menggunakan kalam Asy-Syaikh Al-Albani ~rahimahullaah~ setelah Asy-Syaikh Al-Albany menjawab sendiri tuduhan-tuduhan tersebut dan bahkan (subhanallah) beliau sendiri -tanpa dipaksa oleh siapapun- mengakuinya sebagaimana nukilan pada judul di atas. Setelah ini, tentu saja kita menunggu apakah Caldok Firanda akan tetap kukuh memegang prinsip Halabiyunnya sehingga berlanjut menjarh Asy-Syaikh Al-Albani ~rahimahullaah~ dengan menggunakan pengakuan beliau ini (bukan tuduhan orang lain!!!!!!!) untuk menjarh beliau sebagaimana dia menjarh Asy-Syaikh Rabi’ ~hafizhahullaah~ dengan berlandaskan ucapan imam Al Albani ~rahimahullaah~?!

Semoga saja tidak ada gandanya standard ganda …

〰〰〰〰〰〰〰

Penanya: Fadhilatus Syaikh, ada pertanyaan berkaitan dengan medan dakwah. Kelembutan, kelapangan dada, dan keramahan termasuk Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, apakah menggunakan kelembutan dalam dakwah hukumnya wajib ataukah mustahab?

Asy-Syaikh: Wajib.

Penanya: Pertanyaan ini memiliki maksud dan tujuan.

Asy-Syaikh: Tentu, di belakang bukit pasti ada sesuatunya.

Penanya: Salafiyun dengan berbagai latar belakangnya, yang terkenal dari mereka –dan bisa jadi hal ini benar– adalah sikap keras dalam menyebarkan dakwah dan sedikit kelembutannya. Maka apakah Anda menilai bahwa hal ini benar –dan ini adalah yang saya nilai– dan apa komentar Anda terhadapnya?

Asy-Syaikh: Sebelumnya pada ucapanmu ada yang perlu dikoreksi, yaitu ucapanmu: “Dan bisa jadi hal ini benar.”

Penanya: Saya telah mengatakan: “Apakah Anda menilai bahwa hal ini benar?”

Asy-Syaikh: Sebelumnya engkau mengatakan: “Dan bisa jadi hal ini benar.” Apakah maksudnya: sikap keras yang dituduhkan kepada mereka?

Penanya: Maaf.

Asy-Syaikh: Engkau mengatakan demikian?

Penanya: Ya, dan saya memohon maaf.

Asy-Syaikh: Jadi di sini ada yang perlu dikoreksi, kita memalingkan pandangan saudara-saudara kita ketika mereka berbicara semacam ini. Kita katakan: ini adalah ucapan para politikus, walaupun mungkin saja mereka tidak memaksudkan demikian, hanya saja:

إِنَّ الْكَلاَمَ لَفِيْ الْفُؤَادِ وَإِنَّما … جُعِلَ اللَّسَانُ عَلَى الْفُؤَادِ دَلِيْلاَ

Sesungguhnya ucapan itu hakekatnya yang di dalam hati

Dan sesungguhnya lisan hanya sebagai pembuktiannya

(Maksud beliau ini hanyalah secara bahasa saja, bukan menurut istilah nahwu. Lihat penjelasan masalah ini di Sahab•Net)

Ketika seseorang mengatakan tentang sebuah perkara dengan ungkapan: “Bisa jadi demikian.” Maka bisa disanggah: “Bisa jadi tidak demikian.” Jadi dalam pertanyaanmu ini ada dua hal, dan setelah itu kita akan menyusulkan jawabannya: apakah engkau yakin tentang orang yang dikatakan bahwa Salafiyun tidak memiliki kelembutan dan ciri mereka hanya sikap keras atau itu merupakan manhaj mereka? Engkau membuka pintu pertanyaan ini kepadaku karena engkau mengatakan: “Dan bisa jadi hal ini benar.”

Penanya: Ya Syaikh, saya katakan: saya minta maaf dari ucapan saya: “Dan bisa jadi hal ini benar.”

Asy-Syaikh: Demikiankah?

Penanya: Ya.

Asy-Syaikh: Kalau begitu kita ingin mendengar ucapan yang benar, seperti apa?

Penanya: Apakah saya perlu mengulanginya?

Asy-Syaikh: Jangan engkau ulangi yang tadi karena salah, kalau tidak maka engkau meminta maaf dari apa? Ulangilah dengan pertanyaan yang benar tanpa ungkapan “bisa jadi”, apakah perkataanku jelas?

Penanya: Ya.

Asy-Syaikh: Silahkan!

Penanya: Pertanyaannya dari awal.

Asy-Syaikh: Tidak masalah, engkau bisa memilih.

Penanya: Kami katakan –dan Anda telah menjawab dan ini telah terjadi– bahwa kelembutan, kelapangan dada dan keramahan dalam dakwah hukumnya wajib, dan pertanyaan saya adalah tentang dakwah, bukan tentang perkara-perkara pribadi atau kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang Anda katakan bahwa menggunakan kelembutan dalam dakwah dan terhadap manusia yang didakwahi adalah wajib, Salafiyun yang terkenal dari mereka adalah sikap keras dalam menyebarkan dakwah dan sedikit kelembutannya –dan ini adalah yang saya nilai– ini pendapat saya, maka bagaimana pendapat Anda?

Asy-Syaikh: Apakah engkau termasuk mereka?

Penanya: Saya berharap demikian.

Asy-Syaikh: Apakah engkau termasuk mereka, apakah engkau seorang salafy?

Penanya: Ya.

Asy-Syaikh: Jika demikian apakah engkau termasuk Salafiyun yang keras itu?

Penanya: Saya tidak mentazkiyah diri sendiri, yang saya maksudkan adalah ciri mereka yang menonjol.

Asy-Syaikh: Masalah sekarang bukan masalah tazkiyah, tetapi masalahnya adalah menjelaskan realita. Dan kita katakan: sekarang engkau mengajukan pertanyaan ini dalam rangka saling menasehati, maka ketika saya bertanya kepadamu: apakah engkau termasuk orang-orang yang keras tersebut? Maka di sini tidak boleh dijawab dengan “saya tidak mentazkiyah diri sendiri” karena engkau hanya sebatas ingin menjelaskan realita yang terjadi. Maksudnya jika engkau bertanya kepadaku dengan pertanyaan semacam ini maka akan saya jawab: saya merasa tidak bersikap keras, dan bukan berarti saya mentazkiyah diri sendiri, tetapi saya hanya mengabarkan kenyataan yang ada pada diri saya. Jadi pikirkanlah pertanyaannya!

Penanya: Ya Syaikh, jawaban saya seperti jawaban Anda.

Asy-Syaikh: Kalau demikian, maka kita tidak boleh memutlakkan bahwa Salafiyun adalah orang-orang yang keras. Yang benar adalah dengan kita katakan: sebagian mereka bersikap keras. Jadi kita katakan bahwa sebagian Salafiyun memiliki cara yang keras. Tetapi apakah menurutmu sifat ini hanya khusus ada pada Salafiyun?

Penanya: Tidak.

Asy-Syaikh: Kalau begitu, apa faedah dan apa maksud dari pertanyaan semacam ini? Kemudian apakah kelembutan yang kita katakan bahwa hal itu wajib, apakah itu artinya wajib terus selamanya?

Penanya: Tidak, ada beberapa bentuk sikap keras pada kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Asy-Syaikh: jika demikian maka yang pertama: tidak boleh bagimu dan bagi orang lain untuk mensifati sekelompok manusia dengan sifat yang engkau pukul ratakan kepada mereka semua.

Kedua: tidak boleh bagimu untuk memutlakkan sifat ini terhadap salah seorang dari kaum Muslimin, sama saja apakah dia seorang Salafy atau seorang Khalafy sesuai dengan istilah yang kita pahami, kecuali pada sebagian tertentu, selama kita sepakat bahwa kelembutan tidak disyariatkan selalu selamanya dalam setiap keadaan. JADI KITA MENJUMPAI RASULULLAH Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam MENGGUNAKAN SIKAP KERAS YANG SEANDAINYA DILAKUKAN OLEH SEORANG SALAFY DI MASA INI MUNGKIN MANUSIA AKAN MENGINGKARINYA DENGAN KERAS. Sebagai contoh barangkali engkau tahu kisah Abus Sanabil bin Ba’kak?

Penanya: Tidak.

Asy-Syaikh: Ada seorang wanita (Subai’ah bintu Al-Harits Al-Aslamiyah –pent) yang ditinggal mati oleh suaminya (Sa’ad bin Khaulah –pent) dalam keadaan hamil, lalu dia melahirkan. Yang dia ketahui dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya iddahnya akan berakhir dengan melahirkan. Diceritakan di dalam hadits yaitu di Shahih Al-Bukhary (no. 3993, 4909 dan 5318, diriwayatkan juga oleh Muslim no. 1484 –pent), bahwa setelah melahirkan dia berhias dan memakai celak karena mau dilamar. Maka Abus Sanabil mengetahui hal itu –dahulu dia pernah melamarnya namun ditolak– lalu dia berkata kepadanya: “Engkau tidak halal untuk menikah hingga habis iddah karena kematian, yaitu selama 4 bulan 10 hari.” Wanita tersebut dikenal perhatian terhadap agamanya, maka dia segera datang kepada Rasulullah lalu menceritakan apa yang dikatakan oleh Abus Sanabil kepadanya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَذَبَ أَبُوْ السَّنَابِلِ.

“Abus Sanabil telah dusta.” [Lafazh ini shahih, namun tidak ada dalam Shahih Al-Bukhary dan Muslim, lihat takhrijnya di Silsilah Ash-Shahihah no. 3274 –pent]

Seperti ini sikap yang keras atau lembut?

Penanya: Keras.

Asy-Syaikh: Sikap keras dari siapa? Dari orang sangat lembut yang Allah sifati dengan firman-Nya:

وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ.

“Seandainya engkau kaku dan kasar hatimu, niscaya mereka akan menjauh darimu.” [Ali ‘Imran: 159]

Jadi bukanlah prinsip lembut itu kaedah yang berlaku pada semua keadaan sebagaimana yang baru saja kita sebutkan. Hanya saja yang sepantasnya bagi seorang muslim hendaknya dia menempatkan kelembutan pada tempatnya dan sikap keras pada tempatnya yang sesuai pula.

Contoh lain adalah yang terdapat di dalam Musnad Al-Imam Ahmad: ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah maka ada seorang shahabat yang berdiri dan berkata kepada beliau: “Sesuai kehendak Allah dan kehendak Anda wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda:

أَجَعَلْتَنِيْ للهِ نِدًّا بَلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ.

“Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah??! Tapi (yang benar adalah) ‘terserah kehendak Allah saja.’ ” [Silsilah Ash-Shahihah no. 139 –pent]

Seperti ini keras atau lembut?

Penanya: Cara yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Asy-Syaikh: Jawaban seperti ini saya namakan jawaban menghindar, karena engkau tidak menjawab pertanyaanku seperti sebelumnya ketika kukatakan kepadamu bahwa Abus Sanabil dikatakan telah berdusta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kutanya dirimu apakah ini sikap yang keras atau lembut?

Penanya: Ini sikap yang keras.

Asy-Syaikh: Yang kedua ini?

Penanya: Beliau hanya menjelaskan kepadanya dan mengatakan: “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah?!”

Asy-Syaikh: Ini menghindar namanya –baarakallahu fiik– saya tidak bertanya padamu: “Beliau menjelaskan atau tidak menjelaskan?” Tetapi saya tanya dirimu: “Itu sikap keras atau lembut?” Kenapa sekarang caramu menjawab menjadi berbeda?! Sebelumnya engkau tidak mengatakan: “Beliau menjelaskan.” Padahal ketika beliau bersabda: “Abus Sanabil telah dusta.” Itu beliau menjelaskan, tetapi apakah penjelasan beliau tersebut dengan cara yang lembut dan halus –sebagaimana kita telah sepakat bahwa hal itu adalah prinsip– ataukah padanya terdapat sikap keras?! Engkau mengatakannya dengan tegas: “Padanya terdapat sikap keras.” Maka kenapa engkau tidak menjawab pertanyaan kedua dengan jawaban seperti ini?!

Penanya: Pada pertanyaan kedua beliau tidak mengatakan: “Dia telah dusta.” Tetapi hanya mengatakan: “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah?!”

Asy-Syaikh: Allahu Akbar, ini lebih keras di dalam menunjukkan pengingkaran –barakallahu fiik–

Ada hadits lain: Ada seseorang berkhutbah dengan mengatakan: “Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka dia telah menempuh jalan yang lurus, dan barangsiapa yang mendurhakai keduanya maka dia telah tersesat.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

بِئْسَ الْخَطِيْبُ أَنْتَ.

“Sejelek-jelek khatib adalah engkau.” [HR. Muslim no. 870 –pent]

Ini keras atau lembut?

Penanya: Keras.

Asy-Syaikh: Intinya –baarakallahu fiik– di sana ada cara lembut ada cara keras. Maka sekarang setelah kita sepakat bahwa di sana tidak ada kaedah yang baku dan terus menerus, maksudnya lembut terus atau keras terus, maka terkadang dengan lembut dan terkadang dengan keras.

Sekarang ketika Salafiyun dituduh secara keseluruhan bahwa mereka adalah orang-orang yang keras, tidakkah engkau perhatikan bahwa Salafiyun dibandingkan kelompok dan golongan lain mereka lebih banyak memiliki perhatian terhadap hukum-hukum syariat dan mendakwahkannya kepada manusia dibandingkan yang lainnya?!

Penanya: Hal itu tidak diragukan lagi.

Asy-Syaikh: Baarakallahu fiik, JIKA DEMIKIAN DISEBABKAN KARENA PERHATIAN INI YANG LEBIH BESAR DIBANDINGKAN PERHATIAN PIHAK LAIN DARI SISI INI, MAKA PIHAK LAIN MENGANGGAP AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNGKAR[2] – WALAUPUN DISERTAI KELEMBUTAN – SEBAGAI SIKAP YANG KERAS, bahkan sebagian mereka ada yang mengatakan: “Ini bukan lagi zamannya.” Bahkan sebagian mereka ada yang melampaui batas dengan mengatakan: “Membahas tauhid di masa ini hanya akan memecah belah barisan umat Islam.”

Jika demikian –baarakallahu fiik– yang saya ingin sampai kepadanya bersamamu adalah: permasalahan ini sifatnya relatif. Ada orang yang tidak memiliki semangat berdakwah –apa lagi untuk masuk ke dalam masalah-masalah furu’ yang mereka namakan sebagai kulit atau perkara sekunder– menganggap membahasnya walaupun disertai cara yang baik, dia anggap sebagai sikap keras yang tidak pada tempatnya.

DAN TIDAK SEPANTASNYA BAGIMU DALAM KEADAAN ENGKAU ADALAH SEORANG SALAFY –SEPERTI KAMI– UNTUK MENYEBARKAN ISSU DI TENGAH-TENGAH MANUSIA –WALAUPUN DI ANTARA MANUSIA YANG SEDIKIT SEKARANG– DENGAN MENGATAKAN BAHWA SALAFIYUN ADALAH ORANG-ORANG YANG KERAS. KARENA KITA SEPAKAT BAHWA SEBAGIAN MEREKA MEMANG ADA YANG KERAS, DAN SIFAT INI TIDAK ADA YANG SELAMAT DARINYA WALAUPUN SEBAGIAN SHAHABAT. JADI PADA SEBAGIAN MEREKA PUN ADA YANG KERAS SIFATNYA. MUNGKIN ENGKAU TAHU KISAH BADUI YANG BUANG AIR KECIL DI MASJID SEHINGGA ADA SHAHABAT YANG INGIN MEMUKULNYA. SIKAP ITU LEMBUT ATAU KERAS?

Penanya: Keras.

Asy-Syaikh: Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka: “Biarkanlah dia!”

Jika demikian, mungkin tidak ada yang selamat dari sikap keras kecuali segelintir manusia. Hanya saja yang benar bahwa hukum asal dalam dakwah adalah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Dan termasuk sikap hikmah adalah meletakkan sikap lembut pada tempatnya dan sikap keras pada tempatnya.

Adapun dengan kita mensifati kelompok Islam yang terbaik (Salafiyun) yang memiliki keutamaan atas semua kelompok berupa semangat mereka untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta jalan yang ditempuh oleh Salafus Shalih dengan sifat keras secara mutlak seperti ini, maka saya menilainya ini bukan termasuk sikap yang adil sama sekali, BAHKAN INI TERMASUK SIKAP MELAMPAUI BATAS.

Adapun dengan mengatakan: “Di antara mereka ada yang keras.” Maka siapa yang bisa mengingkari?! Kalau sebagian shahabat saja ada yang bersikap keras bukan pada tempatnya, maka tentu lebih wajar pada orang-orang yang datang belakangan seperti kita ada orang yang keras. Kemudian sekarang kita berbicara tentang seseorang tertentu yang anggaplah dia ini sifatnya lembut dan halus, apakah dia bisa selamat dari menggunakan sikap keras yang tidak pada tempatnya?!

Penanya: Tidak bisa selamanya.

Asy-Syaikh: Kalau begitu –baarakallahu fiik– selesai sudah permasalahannya. Maka jika perkaranya demikian, tidak ada yang wajib kita lakukan selain kita saling menasehati. Jadi jika kita melihat seseorang menasehati dan mengingatkan orang lain dengan cara yang keras yang tidak pada tempatnya, kita ingatkan dia. Bisa jadi dia memiliki pandangan tersendiri. Kalau dia menerima nasehat maka semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Tetapi kalau dia memiliki alasan tersendiri maka kita dengar dan selesai perkaranya.

Penanya: Banyak dari Salafiyun yang menggunakan cara yang keras dan tidak menggunakan kelembutan, jadi mereka menggunakan cara yang keras tidak pada tempatnya dan tidak menggunakan kelembutan pada tempatnya, dan mereka seperti ini tidak sedikit. Saya katakan: Semua kelompok pun melakukan hal seperti ini, dan saya tidak membandingkan Salafiyun dengan kelompok-kelompok yang lain selain mereka, karena saya tidak peduli dengan urusan kelompok-kelompok yang lain. Tetapi yang saya perhatikan adalah urusan Salafiyun. Banyak Salafiyun yang menghalangi manusia dari manhaj salaf disebabkan cara mereka yang salah dalam mendakwahi manusia. Yang saya inginkan dari pertanyaan ini adalah agar Anda memberi nasehat kepada orang-orang yang tertimpa sikap keras dan dada yang sempit.

Asy-Syaikh: Baarakallahu fiik, apa dibutuhkan kepada orang seperti saya untuk menyampaikan nasehat? (ini menunjukkan tawadhu’ beliau ~rahimahullaah~ –pent).

Salafiyun dan selain Salafiyun mengetahui ayat yang baru saja kita sebutkan yaitu:

ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ.

“Ajaklah manusia ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik pula.” [An-Nahl: 125]

Salafiyun juga dibandingkan selain mereka membaca lebih banyak hadits Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan bahwa ketika ada orang Yahudi mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memelesetkannya dengan mengucapkan “assaamu ‘alaikum” (yang artinya semoga kematian menimpamu –pent) lalu Sayyidah Aisyah mendengar salam yang dipelesetkan ini dia bangkit kemarahannya di belakang hijab lalu menjawab: “Semoga kematian, laknat dan kemurkaan Allah menimpamu wahai saudara kera dan babi.” Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab tidak lebih dengan: “Wa ‘alaika (atas kamu juga –pent).” Ketika Yahudi tersebut telah keluar maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Aisyah dengan mengatakan:

يَا عَائِشَةُ! مَا كَانَ الرِّفْقُ فِيْ شِيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَمَا كَانَ الْعُنُفُ فِيْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ.

“Wahai Aisyah, tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah sikap kasar ada pada sesuatu kecuali akan menjadikannya jelek.”

Aisyah menjawab: “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda mendengar apa yang dia katakan?” Beliau menjawab: “Tidakkah engkau mendengar apa yang kukatakan?!” Lihat Shahih Al-Bukhary no. 6030 dan Shahih Muslim no. 2164 serta Musnad Ahmad no. 13531, adapun lafazh “wahai saudara kera dan babi” ada pada Musnad Ibnu Rahuya no. 1685 –pent]

Jadi Sayyidah Aisyah yang terdidik sejak kecil di baitun nubuwwah war risalah (dididik oleh seorang nabi dan rasul –pent) saja merasa tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan cara yang keras pada tempat kelembutan, maka apa yang akan engkau katakan pada selainnya? Salafiyun mereka tidak dididik di rumah Nabi. Bahkan sekarang saya katakan sebuah kalimat yang mungkin pernah menyapa pendengaranmu di suatu hari di salah satu rekaman kaset yang saya sendiri yang mengatakannya: “Sesungguhnya masalah yang menimpa dunia Islam di masa ini adalah karena tidak seperti apa yang dikatakan sebagai kesadaran Islami, yaitu bahwasanya kesadaran ini tidak diiringi dengan pendidikan Islami, maksudnya sedikit sekali pendidikan Islami yang sebenarnya di masa ini. Oleh karena itulah saya yakin bahwa pengaruh kesadaran ilmiah ini membutuhkan waktu yang lama hingga nampak pengaruh-pengaruh pendidikannya di generasi yang tumbuh sesuai batas-batas kesadaran Islami. Jadi padanya masih terdapat celah dan kekurangan, hanya saja mereka hidup di bawah naungan rahmat Allah Azza wa Jalla. Sebagian mereka ada yang dekat dan sebagian yang lainnya ada yang jauh (dari pendidikan Islam –pent). Oleh karena itulah maka dari sisi pemikiran dam pengamalan engkau tidak akan menjumpai orang yang tidak sependapat dan menyelisihimu dalam hal bahwa cara asal dalam dakwah adalah dengan kelembutan dan nasehat yang baik. Tetapi yang penting adalah penerapannya. Dan penerapan ini membutuhkan pembimbing dan pendidik yang mendidik puluhan para penuntut ilmu. Dan mereka inilah yang akan lulus dari bimbingan pendidiknya untuk menjadi para pendidik yang akan mendidik orang lain. Demikianlah cara tersebarnya pendidikan Islam yaitu sedikit demi sedikit melalui didikan para pembimbing yang membimbing murid-muridnya. Dan tentunya tidak diragukan lagi bahwa perkaranya adalah seperti yang Allah firmankan:

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ.

“Dan sifat-sifat yang mulia itu tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mendapatkan karunia yang besar.” [Fushshilat: 35]

Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk umat yang adil tanpa sikap berlebihan dan tanpa meremehkan.

Penanya: Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan wahai Syaikh. Terkadang seorang Sunni menjumpai ahli bid’ah yang memusuhinya bersikap sombong, dan perkaranya sebagaimana yang Allah perintahkan kepada Musa agar bersikap lembut kepada Fir’aun. Namun akhirnya Musa berkata kepadanya:


وَإِنِّيْ لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُوْراً.


“Dan sungguh saya menyangka engkau akan binasa wahai Fir’aun.” [Al-Isra’: 102]

Ada seorang doktor di kuliah mengejek kami ketika kami mengatakan kepada mereka: “Rasulullah bersabda…” Mereka mengejek dengan menyebutkan contoh shalat yang dilakukan oleh Salafiyun dan beberapa hal. Maka ada seseorang yang langsung tidak bisa menahan emosi dan bersikap keras terhadap mereka. Dan saya kagum dengan permisalan yang pernah saya dengar dari Anda wahai Syaikh, yaitu:

قَالَ الْحَائِطُ لِلْوَتدِ: لِمَ تَشُقُّنِيْ؟! قَالَ: سَلْ مَنْ يَدُقُّنِيْ؟!

“Dinding berkata kepada pasak: “Kenapa engkau melobangi diriku?! Pasak menjawab: “Tanyalah siapa yang menancapkan diriku?!”

Demikian juga suatu kali kami pernah diskusi dengan salah seorang pengikut Hizbut Tahrir yang mana sebagaimana telah Anda ketahui bahwa tujuan mereka adalah meraih kekuasaan, adapun kita alhamdulillah tujuan utama kita adalah tauhid. Ketika kami memulai pembahasan ilmiah tentang masalah mendasar –sebagaimana yang kami pelajari dari Anda– lalu sampai ke masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah, salah seorang dari mereka yang merupakan tokoh mereka mengatakan: “Kami sepanjang malam menunggu jari dan kaki-Nya.” Maksudnya dia mengolok-olok sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Maka apa yang kami katakan kepadanya?

Asy-Syaikh: Bagaimana pun keadaannya, kita memohon kepada Allah agar mengaruniakan sikap hikmah kepada kita, yaitu dengan kita meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Penanya: ‘Umar ketika ada orang yang berkata kepada beliau: “Mintakanlah ampunan untuk saudara Anda.” Beliau menjawab: “Semoga Allah tidak mengampuninya.”

Asy-Syaikh: Saya memiliki banyak sekali contoh, dan Al-Akh Abu Abdillah mengingatkan kita dengan riwayat dari ‘Umar yang menceritakan bahwa ada orang yang berkata kepada beliau: “Mintakanlah ampunan untuk saudara Anda.” Beliau menjawab: “Semoga Allah tidak mengampuninya.” Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini? Tidak diragukan lagi bahwa seandainya engkau melihatku mengatakan kalimat ini, pasti engkau akan mengatakan: “Asy-Syaikh adalah orang yang keras.” TETAPI DI SINI DALAM HATI ORANG YANG MENGINGKARI KEMUNGKARAN TERDAPAT RASA MARAH KARENA ALLAH DI DALAM MEMBELA SYARIAT, SEHINGGA MENDORONGNYA UNTUK MENYATAKAN UNGKAPAN YANG KERAS, SEBALIKNYA ORANG YANG MENYAKSIKAN TERSEBUT PADA DIRINYA TIDAK ADA KEMARAHAN YANG BERKOBAR DI HATI ORANG INI SEHINGGA MUNCUL PERKATAAN TERSEBUT.

Di Suriah ada orang-orang yang mengatakan: “Ini adalah sikap keras wahai Rasulullah.” Ini dialek Suriah yang salah, mereka mengajak bicara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan ada sikap keras yang dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka memaksudkan orang tertentu.”

Subhanallah, masalah ini perlu diperhatikan dari semua sisinya agar seseorang adil dalam menghukumi. Kemudian juga yang sekarang nampak bagi saya adalah bahwa termasuk sebab menyebarnya tuduhan ini –jika benar itu ada tuduhan– tentang Salafiyun, engkau tahu bahwa siapa yang banyak bicara maka akan banyak salahnya.

Jadi orang-orang yang berbicara dalam masalah-masalah syariat adalah Salafiyun. Oleh karena itulah mereka mesti terjatuh pada kesalahan karena banyaknya yang mereka bicarakan sehingga kesalahan mereka nampak jelas. Dan termasuk kesalahan ini adalah sikap keras menurut penilaian pihak lain yang mereka tidak terlalu dalam membicarakan masalah ini. Padahal jika engkau perhatikan sifat keras ini pada keumuman yang muncul dari mereka berupa nasehat agar adil dan bersikap lembut, niscaya kita jumpai dari sebagian contoh seperti yang kita sebutkan dari sebagian Salaf dan terjadi di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padanya sikap keras. Hanya saja sikap keras ini tidak membolehkan kita untuk mensifati para shahabat yang terjatuh pada sikap keras dalam hal tertentu bahwa mereka adalah orang-orang yang keras. KITA SENDIRI TERKADANG ~SEBAGAIMANA YANG TELAH KITA KATAKAN~ YAITU SAYA, ENGKAU, DAN ORANG LAIN, TERJATUH PADA SEBAGIAN DARI SIKAP KERAS.

Penanya: Ciri yang menonjol pada kepribadian beliau adalah kelembutan dan kehalusan. Walaupun beliau pernah mengatakan: “Si fulan dusta.” Atau: “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah?!” Dan yang semisalnya.

Asy-Syaikh: Ya.

Sumber: Ajurry•Com

〰〰〰〰〰〰〰

Peringatan Penting!!!!

Tetapi karena tujuan penulisan ini bukanlah untuk menjustifikasi barisan Halabiyun pembela kebatilan dan corong-corongnya semacam si khabits Firanda ~hadahullah~ serta agar tidak ada celah bagi mereka atau musuh-musuh sunnah lainnya sehingga menghukumi pengakuan sikap keras Asy-Syaikh Al-Albani ~rahimahullaah~ di atas dengan penghukuman yang bisa menggembirakan Iblis dan bala tentaranya maka di sini kami menutupnya dengan pernyataan Asy-Syaikh Abi’ ~hafizhahullaah~ sebagaimana yang dikirimkan terjemahannya oleh Al-Akh Abu Ishaq Hidayat ~hafizhahullaah~:

Sikap Kerasnya Ulama Tepat Pada Tempatnya



Berkata Al-‘Allamah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadiy Al-Madkhaly ~hafizhahullaah~:

“Sikap keras (syiddah)-nya ulama bukanlah sikap keras yang tergambar dalam benak orang jahil. Karena mereka (ulama) ini terhitung ke dalam golongan ulama yang cerdas yang menghiasi dirinya dengan keluhuran akhlaq yang tinggi. Mereka menggunakan sikap keras pada tempatnya yang sesuai dengan keadaannya. Dan sikap keras tersebut bukanlah (watak) dasar yang ada dalam kehidupan dan dakwah mereka. Dan tidak pula sikap keras mereka tersebut ditujukan kepada ahlus sunnah sebagaimana yang sekarang ini dilakukan oleh sebagian anak-anak yang sedang beranjak dewasa lagi teracuni syubhat.” [Majmu’ Kutub wa Rasaail: 9/161]

〰〰〰〰〰〰〰

Nah jika sikap keras terhadap Ahlul bathil dan kebathilan tersebut adalah sesuatu yang layak untuk di Jarh oleh Halabiyun, maka bagaimana halnya dengan sikap lembut terhadap Ahlul bathil yang berupaya ditancapkan oleh Al-Halaby dan Halabiyun Calon Doktor Firanda dengan merekomendasi orang-orang sesat lagi menyimpang sebagai Ahlussunnah, sampaipun seorang gembong dunia sekte Ikhwanul Muslimin, Muhammad Al Arifi diumumkannya kepada dunia pembelaan terhadapnya, diAhlussunnahkannya dan dibeber kebaikan serta jasa-jasanya untuk menipu daya dan menyesatkan kaum muslimin??!

Hanya saja kebencian Ahlul bathil dan upayanya untuk menghancurkan kehormatan para ulama semata karena sikap keras para ulama tersebut terhadap kebatilan dan corong-corongnya.

[1] Apabila kita cermati tuduhan tersebut, sangat kontras dengan tuduhan yang dilancarkan oleh para haddiyah ataupun para takfiriyyin, yang menuduh asy-Syaikh Rabi ~hafizhahullaah~ sebagai seorang Murji’ah!!

Subhanallah … berbagai celaan dan tuduhan keji, yang menunjukkan dilontarkan oleh para penuduhnya dengan kedustaan dan sesuai dengan tendensi kepentingan masing-masing.

[2] Termasuk dalam hal ini adalah sikap keras dalam mengingkari dan membantah ahlul bid’ah.


Daripada website TukPencariAlHaq•Com

#alfawaaid @ http://fb.me/31X2Wb0Ay

Ulasan