Kolom Bahasa

Siapa Saja yang Tepat Disebut Buruh?

Perdebatan yang tak jauh-jauh dari perihal besaran upah yang layak dan pemenuhan hak-hak normatif semisal jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO
Ilustrasi - Buruh dari berbagai elemen melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Istana Negara, Jakarta, Senin (1/9/2015). 

SETIAP kali May Day atawa Hari Buruh tiba, setiap kali itu pula buruh--terutama di Indonesia--pasti melakukan aksi unjuk rasa. Lalu, orang-orang akan merasakan dampaknya, yang terutama berupa kemacetan dan kebisingan. Orang-orang yang seharusnya bisa melaju dengan lancar di jalan, terpaksa tersendat-sendat. Aparat yang semestinya bisa duduk-duduk santai sambil minum kopi dan makan gorengan, terpaksa harus mengerahkan gerak.

Lalu, perdebatan berkelebat bersama orasi-orasi para buruh. Perdebatan yang tak jauh-jauh dari perihal besaran upah yang layak dan pemenuhan hak-hak normatif semisal jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Perdebatan yang dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, tak kunjung selesai, dan malah bertambah banyak pokok permasalahannya.

Perdebatan itu kemudian menjalar sampai kepada soal pengategorian buruh. Dalam hal ini, pengategorian itu menyangkut permaknaan tentang buruh itu sendiri dan siapa-siapa saja pihak yang tepat untuk masuk ke dalam kategori buruh.

Dalam konteks kebahasaan, adalah sayang memang, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata "buruh" dengan sempit sekali. Buruh diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Hanya sebatas itu. Tidak ada definisi yang lebih spesifik.

Jika pun ada klasifikasi yang tersaji, itu pun hanya ada beberapa saja. Misalnya, buruh harian yang berarti buruh yang menerima upah berdasarkan hari masuk kerja; dan buruh kasar, yang artinya buruh yang menggunakan tenaga fisiknya karena tidak mempunyai keahlian di bidang tertentu.

Adapun klasifikasi berupa buruh terampil dan buruh terlatih juga masih menjadi perdebatan. Sebagian kalangan nonburuh yang enggan dianggap buruh tetap akan mati-matian menolak dikategorikan sebagai buruh terampil maupun buruh terlatih.

Sementara itu, di luar genggaman bahasa, gara-gara kesempitan definisi itu, orang-orang tak habis-habisnya memperdebatkan siapa buruh siapa bukan buruh.

Kesulitan dalam mengurai makna dan pengategorian buruh itu masih harus dipersulit lagi dengan adanya konsepsi bahwa buruh adalah golongan pekerja kelas rendah dengan gaji yang rendah. Sehingga, muncul ironi dari sejumlah kelas pekerja yang berbayaran rendah.

Dari situ, muncullah pihak-pihak yang menganggap dirinya buruh. Pegawai swasta paling sering. Tetapi yang paling ironis tentu saja mereka yang--sementara di banyak negara--masuk dalam kategori profesional, seperti wartawan dan pengacara.

Dari kalangan wartawan, misalnya. Bukan hal yang tabu lagi bahwa upah wartawan di Indonesia sungguh tragis. Saking tragisnya, upah wartawan bahkan kalah dari upah mereka yang lazim terkategorikan sebagai buruh. Sampai-sampai muncul anekdot: "Kalian wartawan ngapain sibuk sekali memberitakan upah buruh. Upah kalian saja lebih kecil dari mereka".

Sementara seorang bule terkesima saat mengetahui bahwa seseorang merupakan seorang wartawan dengan mengatakan "Wow, it's cool!", orang-orang di Indonesia malah mengumpat, "Huh, wartawan, nanduk saja kerjanya itu."

Yah, demikianlah keadaannya. Dan hari ini, tepat 1 Mei 2016, di pelbagai tempat sejumlah wartawan menggelar orasi, mempertanyakan status mereka. "Masihkah kami patut disebut profesional tatkala upah kami bahkan lebih rendah dari mereka yang buruh?".

Kira-kira begitulah gugatan itu. Alih-alih bergengsi-gengsi menganggap diri sebagai profesional, para wartawan justru mencoba "mencari aman" dengan menyemplungkan diri ke dalam golongan buruh biar (setidaknya) dapat upah yang tak rendah-rendah amat.

Saya jadi teringat waktu dulu mengisi formulir pendaftaran ujian masuk ke perguruan tinggi negeri. Di dalam salah satu kolom yang tersedia, pendaftar diminta untuk mengisi salah satu jenis pekerjaan orangtua. Ada PNS, ada Polri, ada TNI, ada pegawai swasta, ada wiraswasta, dan ada profesional. Pada bagian profesional, masuk di antaranya hakim, jaksa, advokat, wartawan, guru, dan dokter. Yang jelas, seingat saya kalau tak salah, tidak ada pilihan "buruh" di sana.

Lantas kalau demikian, siapa-siapa saja yang tepat disebut buruh? Apakah wartawan dan advokat dan para pegawai/pekerja swasta yang berbayaran rendah tepat disebut buruh karena berbayaran rendah? Sungguh pertanyaan yang sulit.

Menjawab pertanyaan ini sebenarnya hampir sama ketika kita harus menjawab siapa saja yang tergolong pejabat. Apakah mereka yang "hanya" seorang kepala lingkungan atau kepala dusun juga dapat dikategorikan sebagai pejabat, apabila pejabat dipersepsikan sebagai orang yang hidup dengan kemewahan dan fasilitas kerja yang enak?

Pada akhirnya, pengategorian adalah hal muskil. Dan bahasa, sebagai sistem yang mencoba menangkap seluruh gejala sosial dan peradaban, barangkali memang tidak akan pernah paripurna menjalankan tugasnya.

Twitter: @Abulmuammar

Sumber: Tribun Medan
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2024 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved