Kadiyono, Tukang Tambal Ban Lulusan S2

Kadiyo, tukang tambal ban lulusan S2
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko

VIVA.co.id - Kota Boja adalah kota kecamatan di kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Kota yang berhawa sejuk itu dapat dilalui dari kota Semarang ke arah selatan kira-kira 25 kilometer.

3 Jenderal Termuda di TNI Angkatan Darat, Ada yang Jadi Perisai Hidup Presiden Jokowi

Di Jalan Pemuda, sekitar 1 kilometer setelah masuk Kota Semarang, di sebelah kanan jalan terdapat tukang tambal ban bernama Kadiyono. Lapak tambal bannya hanya bedeng sederhana di pinggir jalan. Di depan yang terlihat sebuah kompresor tua.

Sepintas tak ada yang istimewa dari sosok tambal ban berbadan bogel dengan rambut acak-acakan. Dia mengenakan kaos lusuh. Namun ketika ngobrol panjang lebar baru terlihat hal yang berbeda dari seorang tambal ban itu.

Bapak tiga anak ini ternyata lulusan program pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo. Sebelumnya, dia memperoleh gelar sarjana Strata-1 dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.

Megawati Panaskan Mesin Politik PDIP, Pimpin Konsolidasi untuk Pilkada 2024

Saat ini pun dia tercatat sebagai tutor di Universitas Terbuka Semarang. “Saya dari kecil sudah jadi tukang tambal ban, membantu ayah," kata Kadiyono kepada VIVA.co.id.

Dia mengaku, usaha tambal ban inilah membuat dia bisa bersekolah hingga S2. "Saya bisa kuliah 100 persen, biayanya dari hasil tambal ban," katanya.

"Walau kuliah saya di STIK pernah terputus, namun akhirnya lulus setelah 11 tahun dari tahun 1990-2001,” ujar Kadiyono sambil menerawang.

Kadiyono mengisahkan pahitnya berjuang di bangku perguruan tinggi. Ia harus membagi waktu antara menambal ban dan kuliah. Apalagi jarak rumahnya dan kampus STIK sekitar 35 kilometer, berarti setiap hari dia harus menempuh jarak pulang pergi 70 km. Saat itu ia punya motor Bentley tua, yang menemaninya ke kampus. Meski biaya pas-pas an, ia bertekad ingin mengubah nasib lebih baik.

Meski dengan modal semangat baja, ia sempat pontang-panting ketika menikah. Penghasilannya harus dipecah menjadi dua, antara kuliah dan rumah tangga.

Karena hasil menambal hanya sekitar Rp50 ribu tiap hari membuatnya limbung. Ia akhirnya memutuskan untuk cuti kuliah dulu beberapa tahun.

SPKLU Sudah Banyak, Naik Wuling BinguoEV Bisa dari Jakarta ke Mandalika

Setelah merasa keuangannya membaik pada 2000 ia melanjutkan kuliah. Ia berhasil wisuda pada 2001, setelah 11 tahun. Kadiyono tukang tambal ban resmi sarjana.

Usai berhasil meraih gelar sarjana, dia ingin kuliah S2, namun biaya tak ada. Keinginannya itu dipendam sambil menjadi guru di SD Muhamadiyah Boja. Keberuntungan rupanya berpihak padanya, ia mendapat tunjangan sertifikasi guru selama 2 tahun sebesar Rp17 juta.

Pucuk dicinta ulam tiba, demikian kata pepatah. Dana itu ia gunakan untuk kuliah S2 di UMS kelas karyawan, yang masuk hari Sabtu-Minggu.

Di sela-sela kuliah, ia diminta menjadi kepala sekolah SLB Surya di Limbangan, Boja. Meski bayaran tidak seberapa, hanya Rp300-400 ribu, dia menjalani dengan tulus.

”Mengajar anak-anak yang autis, tuna netra, down syndrome, tuna daksa, grahita, tuna wicara, tuna rungu harus sabar. Saya anggap mereka anak sendiri. Saya kadang terharu sampai menangis melihat penderitaan mereka,” katanya, lirih.

Kini gelar sarjana S2 telah digenggam, Kadiyono masih punya keinginan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yakni doktor. Namun ia terbentur biaya kuliah yang mahal.

“Saya sudah coba mencari beasiswa tapi belum berhasil. Saya juga telah mencoba mendaftar menjadi dosen di beberapa Perguruan tinggi tapi ditolak alasannya karena usia sudah 46 tahun,” ujarnya. (ren)

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya