Jumat, 19 Agustus 2016

Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri nan Belia dan Wara'


Mengetahui mengenai ihwal tanah kelahirannya tentu menjadi suatu kepatutan bagi putera-puteri yang terlahir di negeri tersebut. Karena itu, menela’ahnya merupakan keniscayaan bagi sang putera negeri, tak terkecuali bagi putera-puteri Negeri Pontianak.

Sebagaimana kita mafhumi bersama, alas identitas Negeri Pontianak adalah bermula ketika dicacakkannya pondasi Masjid Jami’ Sultan Syarif ‘Abdurrahman Al-Qadri. Beberapa tahun kemudian barulah Pangeran Syarif ‘Abdurrahman Nur ‘Alam ditabalkan menjadi sultan pertama di Kesultanan Pontianak yang memangku kepemimpinan dan kedaulatan Negeri Pontianak hinggalah ke jurai zuriatnya. Kemudian Sultan Pontianak juga membangun Istana Qadriyah sebagai tempat bertahta di atas singgasananya.

Menarik dicermati, bahwa tonggak kedaulatan Negeri Pontianak yang paling mula-mula bukanlah berupa dimensi kekuasaan duniawi, melainkan penguatan dimensi mental spiritual yang lebih dikedepankan. Dan seperti itulah adanya yang mengemuka di Negeri Pontianak hingga saat ini.

Putera-puteri Negeri Pontianak patut berterima kasih kepada pendiri negeri ini, karena melaluinya kita dapat memetik ibrah yang begitu berharga, yaitu bagaimana sepatutnya menjalani kehidupan di dunia nan fana ini. Kealiman, kewara’an, dan kebijaksanaan Sang Pemangku Negeri Pontianak tentu telah pula tersiar ke mana-mana hingga ke berbagai negeri rantau. Seorang Pemangku Negeri Pontianak yang kiranya patut diingat akan kepemimpinannya yaitu Sultan Pontianak ke-V. Saat usia belia, Paduka Tuanku telah ditabalkan menjadi sultan, dan beliaupun mangkat ketika umurnya belumlah terlalu senja. Selama masa pemerintahannya yang kurang lebih 23 tahun, telah begitu banyak pencapaian kemajuan Negeri Pontianak yang beliau ukir.

Seri Paduka Duli Yang Maha Mulia Tuanku Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri yang bersemayam di atas tahta kerajaan di dalam Negeri Pontianak, beliau ditabalkan menjadi Sultan Pontianak ke-V pada usia 22 tahun (lahir tahun 1850, dan ditabalkan pada tahun 1872). Beliau mengemban amanah tampuk pemerintahan selama 23 tahun (mangkat pada usia 45 tahun, yaitu pada tanggal 15 Maret 1895).

Ayahanda dari Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri adalah Sultan Pontianak ke-IV, yaitu Sultan Syarif Hamid I Al-Qadri ibnu Sultan Syarif ‘Utsman Al-Qadri. Sedangkan ibunda daripada Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri adalah Syarifah Fathimah Al-Qadri binti Sultan Syarif Qasim Al-Qadri. Dengan demikian, Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan cucu dari dua orang Sultan Pontianak. Jadi boleh dikatakan bahwa Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan figur persatuan Kerabat Kesultanan Pontianak yang sempat beberapa masa sedikit terpecah setelah ditabalkannya Sultan Syarif ‘Utsman Al-Qadri sebagai Sultan Pontianak ke-III menggantikan abangnya sendiri, yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Qadri (Sultan Pontianak ke-II).

Menarik pula dicermati bahwa Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri juga mewarisi darah kebangsawanan dari beberapa kerajaan di Borneo, Sumatera, dan Sulawesi, selain juga mewarisi darah Arab Bani ‘Alawiyyin dari Negeri Hadhramaut sebagai nashab lurus ke atas daripada Kesultanan Pontianak. Sejauh yang dapat ditelusuri, di dalam tubuhnya mengalir darah Arab Bani ‘Alawiyyin Negeri Hadhramaut, Kerajaan Matan-Tanjungpura, Kerajaan Mempawah, Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Baturijal Inderagiri. Selain daripada itu, di dalam silsilah kekerabatan Kesultanan Pontianak juga mengalir darah Kesultanan Banjar. Dan pada jalur yang ke bawahnya lagi juga ada mengalir darah dari Negeri Brunei Darussalam. Kalau mau disusur-galuri lagi lebih lanjut, tentu masih begitu banyak pula kaitan kekerabatan Kesultanan Pontianak dengan negeri-negeri lainnya di Kepulauan Melayu ini, sebut saja di antaranya yaitu Negeri Siak Seri Inderapura, Negeri Kubu, Negeri Riau-Johor-Lingga-Pahang, Negeri Selangor, dan beberapa yang lainnya.

Ditarik lurus dari garis laki-laki (daripada ayahandanya), Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan keturunan ke-4 daripada Al-Habib Husain Al-Qadri (Tuan Besar Mempawah yang berasal dari Kota Tarim-Negeri Hadhramaut/kini masuk wilayah Negara Yaman). Jika ditarik dari garis perempuan (daripada ibundanya), Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan keturunan ke-4 daripada Opu Daeng Menambon (Raja Mempawah yang berasal dari Kerajaan Luwu, Sulawesi), keturunan ke-5 daripada Sultan Muhammad Zainuddin (Sultan Matan), keturunan ke-6 daripada Panembahan Senggaok (Raja Mempawah Lama/Senggaok), dan keturunan ke-7 daripada Raja Qahar (Raja Baturijal Inderagiri, Sumatera).

Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri dikenal sebagai sultan yang paling banyak mengkhidmatkan dirinya dalam ihwal syi'ar Islam. Tuanku Sultan dikenang sebagai pemangku negeri yang sangat kuat berpegang pada syari'ah Islam. Seri Paduka Tuanku sangat terkenal di antara raja-raja yang ada di Bumi Borneo Barat, bahkan dikenal kemasyhurannya hingga ke luar negeri, yaitu sebagai sultan dari sebuah kerajaan Islam. Tuanku juga banyak melakukan perdagangan dengan Singapura.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri, ramai berdatangan orang-orang Bugis dari Pulau Sulawesi ke Negeri Pontianak. Mereka rata-rata berpencaharian dari bertani, berkebun kelapa, serta menjadi nelayan di Sungai Kakap. Orang-orang Bugis ini juga ramai yang bermukim di dekat lingkungan Istana Kesultanan Pontianak, juga ramai yang bermukim di Jongkat dan Peniti.

Ketika era pemerintahannya ini pula ramai berdatangan orang-orang dari berbagai negeri di Kepulauan Melayu ini ke Negeri Pontianak. Para pedagang dan pelaut berdatangan ke Pelabuhan Pontianak. Sebagian dari pelaut dan pedagang itu ada juga yang meminta izin mendirikan pemukiman baru dan membuka hutan.

Sebagaimana sisi sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur yang bergerak maju, begitu pula pada sisi penegakan hukum. Pada masa pemerintahan Tuanku Sultan, Mahkamah Syari’ah begitu berperan penting di dalam Negeri Pontianak. Keberadaannya sebagai lembaga tempat mencari keadilan yang berlandaskan Hukum Islam sungguh begitu terasa di tengah-tengah masyarakat. Bahkan tak jarang Tuanku Sultan yang langsung bertindak sebagai hakim dalam hal memutuskan berbagai macam sengketa hukum di tengah-tengah rakyat yang dicintainya dan mencintainya, dan tentu pula memutuskan perkara-perkara tersebut dengan segenap kebijaksanaan dan keadilan sesuai dengan kapasitasnya sebagai umara’ pemangku negeri sekaligus ‘ulama.

Pontianak sebagai negeri yang darussalam tentunya tak terbangun dengan sendirinya. Negeri yang darussalam itu dapat terwujud salah satunya karena visi pendiri negeri serta para sultannya dari tiap generasi masa pemerintahan. Jasa para pemangku Negeri Pontianak ini tentunya takkan pernah kita lupakan. Perjuangan mereka demi menegakkan Negeri Pontianak sebagai negeri yang bermarwah dan bermartabat patut diapresiasi oleh putera-puteri Bumi Khatulistiwa Bertuah ini. Dan gerak Negeri Pontianak yang lebih maju lagi ke hadapan tentunya juga bersesuaian dengan cita-cita para pemangku negeri yang bersinggasana di Istana Qadriyah ini. Perjuangan yang lebih besar lagi tertanggung pada masing-masing pundak putera-puteri Negeri Pontianak, sehingga negeri ini terus bisa berjaya kini hingga ke masa hadapan, sebagaimana yang telah di’azamkan para pemangku negeri yang kita cintai ini. [#*#]


Hanafi Mohan
Negeri Pontianak & Tanah Betawi
Januari-Juli 2014



** Tulisan ini sebelumnya dimuat di Rubrik Opini, Surat Kabar Pontianak Post, Sabtu 12 Juli 2014.


0 ulasan:

Posting Komentar