Tulisan Bergambar

SUARA GEnerasi Muda PAngudi Luhur

Jumat, 16 November 2012

MAKNA HARI PAHLAWAN,10 NOVEMBER


PENGERTIAN
  • Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah
  • Kepahlawanan adalah perihal sifat pahlawan (seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan)
  • Tindak Kepahlawanan adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.
  • Nilai Kepahlawanan adalah suatu sikap dan perilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan negara.

HARI PAHLAWAN
Tanggal 10 November dinyatakan oleh bangsa kita sebagai Hari Pahlawan. Peringatan Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa, bukan saja untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang yang tak terhitung jumlahnya demi memperjuangkan tegaknya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Peringatan Hari Pahlawan 10 November juga merupakan kesempatan yang baik untuk selalu memupuk rasa kesadaran bangsa.


Latar Belakang Sejarah
Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di pulau Jawa, dan pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang. Dengan dijatuhkannya bom atom di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki) dalam bulan Agustus 1945 oleh Amerika Serikat, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu.
Selama pendudukan Jepang, di tengah-tengah penderitaan rakyat yang disebabkan oleh pendudukan tentara Jepang dan perang, di kalangan banyak golongan lahir semangat anti-Barat atau anti-kolonialisme, di samping perasaan anti-Jepang (terutama menjelang tahun 1945). Dalam rangka persiapan untuk menghadapi segala kemungkinan menghadapi Sekutu, pemerintah Jepang telah menggunakan berbagai cara dan akal untuk merangkul rakyat Indonesia, untuk menghadapi Sekutu. Peta (Pembela Tanah Air) telah dibentuk, dan Jepang juga menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pemimpin-pemimpin Indonesia (antara lain Sukarno, Hatta dll) telah menggunakan berbagai kesempatan waktu itu untuk menyusun kekuatan, demi cita-cita untuk kemerdekaan bangsa.
Dengan kekalahan Jepang menghadapi Sekutu, maka kemerdekaan bangsa Indonesia telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus, yaitu ketika pasukan pendudukan Jepang masih belum dilucuti oleh Sekutu. Sejak itulah terjadi berbagai gerakan rakyat untuk melucuti senjata pasukan Jepang, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta dan pada tanggal 25 Oktober mendarat di Surabaya. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, di samping itu, tentara Inggris juga memeliki tujuan rahasia untuk mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya.
Perkembangan sejak mendaratnya tentara Inngris di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kehadirannya (atas nama Sekutu) itu telah diboncengi oleh rencana pihak Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Tentara Inggris (Sekutu) yang datang ke Indonesia juga mengikutkan NICA (Netherlands Indies Civil Adminsitration). Kenyataan inilah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana. Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda Merah-Putih-Biru di hotel Yamato telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan beraneka-ragam badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Singkatnya, bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, makin memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada tanggal 30 Oktober.
Karena terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby itu, maka penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6 pagi tanggal 10 November 1945.



Serangan Besar 10 November
Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat sebagai alat negara juga telah dibentuk. Di samping itu, banyak sekali organisasi-organisasi perjuangan telah dilahirkan oleh beraneka-ragam golongan dalam masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).
Pada tanggal 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang dan sejumlah besar kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak. Rupanya, Tentara Keamanan Rakyat (yang kemudian menjadi TNI) dianggap enteng, apalagi badan-badan perjuangan bersenjata (laskar-laskar dll) yang banyak dibentuk oleh rakyat. Tetapi, diluar dugaan Inggris, ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada permulaannya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Ternyata, pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh ditangan pihak Inggris.



Keagungan Arti 10 November
Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena begitu banyaknya pahlawan - baik yang dikenal maupun tidak di kenal yang telah mengorbankan diri demi Republik Indonesia. Bukan pula hanya karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Di samping itu semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalannya revolusi waktu itu. Pertempuran Surabaya telah dapat menggerakkan rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun pasif, dalam perjuangan melawan musuh bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang melindungi (menyelundupkan) NICA ke wilayah Indonesia.


Lalu apa arti pahlawan sesungguhnya ?
Muncul sebuah pertanyaan, apakah tindakan kepahlawanan hanya terkait tindakan fisik, perlawanan yang menggunakan senjata, untuk, membela kebenaran/tanah air, seperti merebut dan mempertahankan kemerdekaan? lalu apa makna sikap dan tindak kepahlawanan dan apa pula relevansinya dengan kehidupan kita sehari-hari pada  masa kini?
Secara bahasa kata Pahlawan berarti orang atau kelompok orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1988), dari pengertian ini , ada tiga aspek kepahlawanan, yakni: Keberanian, Pengorbanan dan membela kebanaran. Jadi, pahlawan memang selalu menuju individu atau kelompok orang yang melakukan ketiga aspek tindakan kepahlawanan tersebut.
“Membela kebenaran” tentu saja suatu hal yang tidak mudah dirumuskan, dalam hal ini, kebenaran menurut versi siapa?. Di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari belenggu penjajahan, segala sikap dan tindakan menentang pemerintah kolonial dianggap sebagai bentuk kepahlawanan, siapapun yang melawan, memberontak terhadap colonial  akan disebut pahlawan. Maka  munculah sederet nama yang dulunya dianggap pemberontak oleh pemerintah Belanda. oleh pemerintah Republik Indonesia diberi gelar Pahlawan Nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Cut Nyak Dien, Patimura, Sultan Ageng Tirtayasa dll.

Bagaimana dengan era masa kini? Masih adakah peluang untuk menjadi Pahlawan, pejuang masyarakat? Tentu saja peluang tersebut masih terbuka, bahkan jauh lebih luas. Namun tentu saja, bentuk perjuangannya jelas sangat berbeda. Jika di era pasca perang Dunia II kepahlawanan diwujudkan lewat perjuangan fisik melawan penjajah, maka di era kini kepahlawanan bisa dilakukan dengan membangun tatanan masyarakat yang lebih beradab, setara dalam segala hal, hidup damai dalam pergaulan, baik antar pribadi, kelompok mauipun antar bangsa
Disadari atau tidak   bentuk penjajahan yang terjadi sekarang  jauh lebih komplek dan rumit contoh dari sisi ekonomi, bangsa kita telah terjebak oleh ekonomi kapitalis sehingga masyarakat tidak ikut merasakan kesejahteraan, kemiskinan semakin meluas dan bertambah parah. Dari sisi Pendidikan, biaya pendidikan semakin mahal, sehingga kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh orang yang mempunyai kemampuan finansial yang tinggi pula. Dari sisi Sosial Budaya, terutama di kalangan generasi muda  pelajar dan Mahasiswa. Generasi muda adalah tulang punggung bangsa, yang diharapkan di masa depan mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini agar lebih baik.
Dalam mempersiapkan generasi muda juga sangat tergantung kepada kesiapan masyarakat yakni dengan keberadaan budayanya. Termasuk didalamnya tentang pentingnya memberikan filter tentang perilaku-perilaku yang negatif, yang antara lain; minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, sex bebas, dan lain-lain. Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menghawatirkan. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar.   Belum lagi tayangan film yang bikin otak remaja teracuni dengan pesan sesatnya. Ditambah lagi, maraknya tabloid dan majalah yang memajang gambar “sekwilda”, alias sekitar wilayah dada; dan gambar “bupati”, alias buka paha tinggi-tinggi. Konyolnya, pendidikan agama di sekolah-sekolah ternyata tidak menggugah kesadaran remaja untuk berfikir kritis dan inovatif.
Dari sisi kemanusiaan, konflik-konflik bernuansa SARA juga masih kita jumpai dimana-mana dan ini menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa meledak. Apalagi , jika hal itu tidak dikelola dengan baik bahkan justru menjadi dagangan politik. Jika tidak diikuti sikap kedewasaan dalam berdemokrasi, apa saja bisa terjadi, termasuk memperdagangkan sentimen SARA . dan masih banyak lagi penjajahan-penjajahan dalam bentuk lainnya yang tidak terangkum dalam tulisan ini. Untuk itu dibutuhkan pejuang-pejuang dalam bentuk baru, dibutuhkan Pahlawan-Pahlawan sejati, tidak lagi mengangkat senjata, tidak lagi berhadapan secara fisik tapi dalam bentuk abstrak, tidak bisa dilihat oleh mata kepala tapi hanya bisa dilihat oleh mata hati dengan menggunakan olah pikir


Akhirnya kita semua bisa menjadi Pahlawan sejati sesuai dengan peran dan profesi masing-masing.
........Mari kita semua jadi Pahlawan.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar