Idul Fitri dan Ekspresi Islam Nusantara

Kolom

Idul Fitri dan Ekspresi Islam Nusantara

Rumadi Ahmad - detikNews
Jumat, 24 Jul 2015 20:53 WIB
Foto: Majalah Detik
Jakarta - Idul Fitri bisa dikatakan sebagai festival keagamaan paling kolosal. Bagaimana tidak, seluruh sumber daya dan energi selalu difokuskan untuk menyukseskan peristiwa tahunan ini.

Pemerintah sibuk menyiapkan seluruh fasilitas agar ritual mudik berjalan lancar. Bila sampai gagal memfasilitasi, hujatan akan datang bertubi-tubi. Seberapa pun besar pengorbanan warga yang mudik, meski harus terjebak kemacetan berjam-jam, lazimnya tak dirasakan.

Mengapa Idul Fitri dirayakan sedemikian gegap-gempita? Pertanyaan ini pasti muncul dalam benak banyak orang. Secara teologis, Idul Fitri merupakan ungkapan rasa syukur bagi umat Islam yang berhasil melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Keberhasilan itu mengantarkan seorang muslim menaiki tangga spiritual yang tinggi, yaitu kembali kepada kesucian diri. Dari sudut ini, hanya orang-orang Islam yang berpuasa yang berhak merayakan dan mendapatkan Idul Fitri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun Idul Fitri juga merupakan peristiwa kebudayaan yang bisa dirayakan siapa saja. Bukan hanya muslim yang melaksanakan puasa Ramadan, nonmuslim pun bisa ikut merayakan. Idul Fitri kini sudah menjadi festival kebudayaan Islam Nusantara.

Halalbihalal

Di samping tradisi mudik, dalam Idul Fitri juga ada tradisi halalbihalal, yang merupakan tradisi khas Islam Nusantara. Meski menggunakan struktur bahasa Arab, kata ini tidak dikenal di dunia Arab. Kata "halalbihalal" merupakan kreativitas muslim Nusantara. Meski tradisi saling memaafkan merupakan ajaran Islam, pengemasan dalam aktivitas yang disebut halalbihalal merupakan karya genuine muslim Nusantara.

Bahkan, karena dalam bahasa Arab tidak dikenal, ada sebagian kalangan yang menganggap halalbihalal sebagai bidah atau praktek yang tidak diajarkan Islam. Sebuah anggapan yang tentu saja berlebihan.

Profesor Doktor Quraish Shihab dalam sebuah kesempatan menjelaskan, istilah halalbihalal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Dari sisi hukum, kata "halal" adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengandung dosa. Dengan demikian, halalbihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa menjadi halal dengan jalan memohon maaf.

Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata "halal", yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata, memiliki varian makna, antara lain: "menyelesaikan masalah", "meluruskan benang kusut", "melepaskan ikatan", "mencairkan yang beku", dan "membebaskan sesuatu". Bahkan, jika langsung dikaitkan dengan kata "dzanbin", halla min dzanbin, akan berarti "mengampuni kesalahan".

Jika demikian, berhalalbihalal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, menyambung silaturahmi yang putus, dan seterusnya. Semua merupakan tujuan diselenggarakannya halalbihalal.

Ada juga yang berpendapat, secara kebahasaan, dalam kata "halalbihalal" bisa terdapat "kata yang tersembunyi (dhamir)" yang, jika diungkap, akan berbunyi thalabu halâl bi tharîqin halâl (mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan). Atau bisa juga berbunyi halâl yujza'u bi halâl (pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan). Hal inilah yang penulis maksud sebagai kreativitas Islam Nusantara. Sebuah cara beragama yang senantiasa berupaya untuk membumikan ajaran Islam dengan cara yang damai.

Ekspresi Islam Nusantara

Penulis sengaja mengaitkan soal Idul Fitri dengan Islam Nusantara, bukan saja karena persoalan Islam Nusantara sedang menjadi perbincangan publik, tapi juga karena kita sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia mempunyai tanggung jawab besar untuk turut menentukan arah peradaban Islam dan dunia.

Peradaban Islam Nusantara, meskipun relatif lebih muda dibanding peradaban Islam Timur Tengah, misalnya, mempunyai kekayaan kearifan dan toleransi yang jarang dimiliki belahan dunia Islam yang lain. Sejarah penyebaran Islam Nusantara adalah sejarah tentang toleransi dan perdamaian.

Islam Nusantara adalah Islam yang tumbuh, berkembang, dan hidup di kawasan Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat ajaran Islam (Alquran dan hadis) dan realitas dan budaya setempat. Dialektika kreatif tersebut akhirnya membentuk paham, identitas, nilai, kultur, dan seluruh kekhasan yang ada di dalamnya. Ciri khas Islam tersebut lahir dari tradisi kehidupan dan pergulatan masyarakat Nusantara secara dinamis dalam rentang sejarah yang panjang.

Dengan demikian, Islam Nusantara merupakan pergumulan implementasi ajaran Islam dengan kesadaran waqi'iyah (realitas). Sikap realistis ini bukan berarti taslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi, melainkan sikap tidak menutup mata atas kenyataan yang dihadapi dengan tetap berusaha untuk mencapai kondisi ideal. Kondisi ideal yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana ajaran Islam bisa terimplementasi dengan baik tanpa membuat kerusakan bagi kehidupan. Hal ini merupakan bentuk implementasi wasathiyah (moderat), yang merupakan salah satu bentuk prinsip dasar syariat Islam (mabadi' al-syari'at) sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah [2] ayat 143.

Kesadaran waqi'iyah dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam inilah yang dipraktekkan ulama-ulama yang menyebarkan Islam di Nusantara, sehingga 87 persen pendudukan di Indonesia memeluk Islam tanpa pertumpahan darah. Hal ini pula yang menyebabkan iman tauhid Islam bisa hidup kokoh dalam hati sanubari masyarakat tanpa perasaan keterancaman dan ketakutan. Islam benar-benar bersemayam dalam lubuk hati masyarakat.

Dengan perspektif ini, perayaan Idul Fitri dengan berbagai aktivitas yang mengikuti merupakan salah satu bentuk ekspresi Islam Nusantara yang menunjukkan syiar Islam yang ramah dan damai.

*) Rumadi Ahmad adalah Peneliti senior The Wahid Institute, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Komisioner Komisi Informasi Pusat.

***

Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 190, 20 Juli 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Menteri Lima Koma". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Prioritas Alutsista Dua Matra", Internasional "'Imperium' Bernama Iran", Ekonomi "Lebih Murah Berbagi Aset", Gaya Hidup "Lebaran ala Pernikahan Campuran", rubrik Seni Hiburan dan review Film "Danny Collins", serta masih banyak artikel menarik lainnya.

Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!!

(nwk/nwk)