Dimuat di Pikiran Rakyat Sabtu, 11 Maret 2023


KISAH DARI RUANG TUNGGU

Perawat memanggil sesuai antrean. “Bu Ratna, silakan masuk!” sehingga aku bersicepat memasuki ruangan dokter gigi. Namun sebelum beranjak, kusempatkan berkata kepada laki-laki tadi.

“Mas, maukah menungguku selesai?”

Lelaki itu mengangguk setelah sempat terperangah sejenak. Lalu dia duduk dan membuka buku Pangeran dari Timur. Novel sama yang sedang kubaca saat menunggu giliran dipanggil tadi.

Di dalam ruangan dokter gigi, aku tidak bisa berkonsentrasi penuh dengan tindakan sang dokter. Ingatanku kembali pada dua kali kunjungan sebelumnya.  Geraham kiriku berlubang cukup parah hingga perlu beberapa kali perawatan sebelum ditambal dengan benar. Apalagi saraf gigiku sudah kena, begitu dokter bilang. Aku datang ke tempat praktik pribadinya pada pertemuan pertama. Namun, karena harus menyesuaikan dengan jadwal kerja, aku memintanya menggeser hari. Maka kunjungan kedua dan seterusnya berlangsung di klinik dekat kantorku, tempatnya berpraktik juga. Saat itu aku bertemu dengannya, lelaki yangselalu kebetulan memiliki jadwal kunjungan sama denganku.

Klinik itu merupakan tempat praktik bersama beberapa dokter, dokter umum dan beberapa dokter spesialis, termasuk dokter gigiku. Hari ini ketiga kalinya kudatangi klinik. Tiga kali itu pula kulihat dia menunggu sambil membaca. Menunggu itu menjengkelkan, rasanya waktu tersia-sia. Kebanyakan orang sekarang akan bermain ponsel saat menunggu. Maka ketika kulihat dia menunggu sambil membaca buku sepertiku terbitlah kegembiraan. Artinya aku tidak aneh-aneh amat. Temanku sering mengolok-olok setiap aku malah tenggelam dalam bacaan dan tidak menyadari kedatangan mereka saat menunggu janjian.

Walau pernah sekilas kulihat dia melirikku juga, aku lebih memilih meneruskan bacaan. Tidak minat bertanya. Terutama karena dua kali sebelumnya kami terhalang pasien lain. Pernah kusempatkan menoleh dan memberikan senyum kepadanya. Tapi senyumku membentur wajah bapak-bapak paruh baya di sebelahnya yang balas tersenyum dengan genit. Sial, padahal diam-diam kuakui sebetulnya lelaki itu cukup manis. Lelaki yang berparas menarik, akan tampak jauh lebih manis di mataku jika dia gandrung membaca buku. Barangkali ini hanya soal selera. Manusia cenderung menyenangi sesuatu yang membuatnya merasa memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu.

Hari ini kami duduk bersebelahan. Dia tidak berinisiatif mengobrol seperti yang kubayangkan. Aku tidak tahu buku apa saja yang dibaca pada kunjungan sebelumnya. Namun hari ini, kusimpulkan, selera bacaannya tidak jauh berbeda denganku. Apalagi membawa-bawa buku tebal ke mana-mana demi menuntaskan membaca bukanlah pekerjaan iseng seorang lelaki demi tampil keren atau menarik perhatian perempuan, menurutku. Artinya dia benar-benar gemar  membaca.

Tidak banyak lelaki yang suka membaca dalam lingkaran pertemanan di kantorku. Mereka lebih senang memamerkan ponsel keluaran terbaru, atau berbincang soal motor sport incaran. Satu lagi, mereka sibuk bertaruh mendekati Rania, perempuan molek di divisi Humas. Pernah aku menguping pembicaraan mereka di kubikel sebelah, dan tiga orang temanku mengeluarkan uang 50 ribuan untuk bertaruh khayalan mana yang akan terwujud hari itu. Tak tanggung-tanggung, salah satu dari mereka berkata bahwa membayangkan bisa duduk berdekatan sambil mengelus paha mulus Rania, sementara yang lainnya hanya berani bertaruh mengajak Rania makan siang. Dasar lelaki, otaknya tidak jauh-jauh dari perburuan ragawi!

Maka ketika di ruang tunggu kulihat dia membaca buku, perasaanku bukan saja senang menjumpai lelaki yang kupikir isi kepalanya tidak melulu tentang visualisasi perempuan, tapi berkembang menjadi harapan. Jika boleh kubilang, lelaki itu pastilah salah satu jenis langka. Kesan intelek dari matanya saat kuminta menungguku saja tertangkap dengan kesan yang melambungkanku pada harapan. Konyol, memang. Berkenalan saja belum.

“Sudah selesai. Minggu depan ke sini lagi ya. Kita mulai tambal giginya,” suara merdu dokter gigi menyadarkan lamunanku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku keluar ruangan dan menjumpai lelaki itu masih menunduk menekuri buku yang dipegangnya di tangan kiri di atas pahanya. Siku kanannya bertelekan pada bagian atas bangku. Setelah mendengarku berdeham, lelaki itu mengangkat wajah, tersenyum dan buru-buru berdiri.

“Sudah selesai? Namaku Aksan,” dia mengulurkan tangan.

Senyum yang sudah kusediakan berkembang sempurna, urung kuikhlaskan. Mengapa namanya harus sama dengan mantan pacarku yang mengawini perempuan lain yang dihamilinya?

Setelah mengingat kembali nama Aksan yang satu itu, kupaksakan senyum kembali kepada Aksan di hadapanku saat ini. Kuhargai kesediaannya menungguku selesai di ruang dokter. Padahal urusannya sendiri sudah selesai.

“Suka baca novel juga ya, Mas? Selain Pangeran dari Timur, buku apa lagi yang Mas sukai?”

“Hmm… apa ya? Banyak.”

Of Mice and Men?” kami serempak bertanya. Lalu terkekeh dan buru-buru menutup mulut menyadari kami masih di klinik. Kalian tahu sendiri, orang sakit apalagi pasien sakit gigi sensitif jika mendengar sedikit saja keributan, bukan?

“Apakah kita akan lanjutkan ngobrol di sini?” pertanyaan konyol dariku meluncur.

“Ide buruk, tentu saja. Hahaha. Oya, di ruko sebelah klinik ini ada kafe. Mau ke sana?”

Kafe berjarak sepelemparan batu itu jadi tempat tujuan setelah kami memastikan sedang tidak diburu waktu untuk mengerjakan hal lain atau janji temu. Sampai di depan kafe, kutepuk jidat. Aksan yang sedang bercerita tentang kopi favoritnyajadi heran.

“Kenapa? Apakah cerita itu mengingatkan pada sesuatu?” dahinya berkernyit.

“Bukan! Kenapa kita berdua bisa lupa kalau kita baru saja dari dokter gigi dan belum boleh ngopi?” aku menepuk jidat lagi kedua kalinya. Aksan tertawa.

“Ya sudah, kita cari air putih saja. Duduk di kursi taman itu, mau?” telunjuknya mengarah pada kursi kayu cokelat di taman kecil di kompleks pertokoan seberang.

“Bolehlah.”

Di sana akhirnya kami terdampar membicarakan banyak hal. Kesukaan kami pada buku-buku bacaan, komunitas yang kami ikuti, film favorit, dan pekerjaan kami. Aku lupa sejak kapan aku memiliki keberanian berbincang seperti ini lagi kepada lelaki asing yang baru saja ditemui di dokter gigi? Tampaknya Aksan pun lupa bahwa kami berdua beberapa jam lalu adalah dua orang asing yang baru saja berkenalan gara-gara sebuah buku. Jika ada orang lain yang melihat kami saat ini, pasti mengira kami teman lama saking akrabnya mengobrol. Aku melihat perubahan raut wajah Aksan juga yang menjadi lebih antusias setelah kupancing dengan kata kunci Dian Sastro. Aktris multitalenta satu itu memang idola banyak lelaki. Diam-diam aku berharap Aksan akan menyatakan selera yang berbeda.

“Dian Sastro itu pintar. Kecantikannya justru makin timbul karena dia pintar. Dia gemar olahraga, jadi sutradara, produser, bahkan dosen. Kamu tahu, dia baca buku-buku bagus. Sylvia Plath, Budi Darma, Adam Grant, dan masih banyak lagi.” Dengan lancarnya Aksan menyebutkan sederet kelebihan aktris perempuan satu itu.

“Yahhh… ternyata seleranya gak jauh-jauh. Kenapa semua lelaki yang kutemui ngefans banget sama Dian Sastro?” aku menggumam sedikit kesal.

“He-he-he. Selera wajar ya?” ternyata kuping Aksan tajam juga.

“Eh, kamu sudah punya pasangan?” pertanyaan tak terduga dari orang yang baru saja kenal.“Aku baru engah pas lihat cincin di jarimu.”

Akhirnya. Kupikir pertanyaan itu tidak akan pernah mencuat. Saat meminta Aksan menunggu di dokter tadi, aku tidak berpikir harus menguak kisah di balik cincin di jari manisku. Dan mengapa pertanyaannya justru “pasangan”, bukan “pacar” atau “suami”?

Mestinya kuanggap pertanyaan itu kurang sopan karena walau sudah berbincang banyak hal, urusan pribadi tidak perlu dibahas dulu. Aku diam memutar otak bagaimana sebaiknya menjawab.***

*pantikan ide dari cerpen Hermawan Aksan

Ratna Ayu Budhiarti  menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, fiksimini, dan beberapa naskah drama. Menulis 9buku tunggal (puisi dan cerpen), serta lebih dari 60 antologi bersama. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Korea, dan Rusia. Beberapa karya bisa dilihat di laman https://ratnaayubudhiarti.wordpress.com

Dimuat di Kompas Minggu, 19 Februari 2023


GRUP WHATSAPP

Tari selalu berpikir hidupnya tidak kekurangan apapun. Teman-teman yang perhatian dan keluarga yang tidak pernah rewel menanyainya kapan akan menikah. Barangkali mereka bosan. Berkali menanyakan hal yang sama, jawaban Tari selalu sama: “ih, bosan, ganti pertanyaan!” Atau jika suasana hatinya sedang baik, Tari hanya menjawab, “doakan saja segera.”

Ibunya sudah lama menyerah menjodoh-jodohkan Tari dengan anak kerabat dan kolega keluarga. Tari pun bisa kembali tenang dan menjalani hari-harinya yang sibuk dengan rutinitas kantor sejak paling hingga sore –bahkan malam, jika ia harus lembur sesuai perintah atasan.

Ketenangan hatinya sedikit terusik ketika April, sahabatnya, mengajak Tari berlibur bersama keluarganya. April tidak pernah menanyakan mengapa Tari belum menikah. Yang mengusik Tari bukan pertanyaan soal pasangan, melainkan percakapan keluarga April.

“Kata Bapak, kamu siapkan dana untuk penginapan saja. Bus sudah kami sewa untuk dua hari. Asal ibumu setuju, kita bisa berangkat minggu depan.”

“Iya, Ibu mau ikut kok. Sekalian refreshing, katanya.”

“Ya sudah, kalau gitu fix ya. Aku bilang Bapak.”

Lewat ekor matanya Tari mengintip April mengetik pesan pada grup whatsapp keluarga. Tak lama April terkekeh sendiri dan melirik Tari.

“Duh Bapak ada-ada aja deh. Masa minta ibumu dan ibuku duet lagu dangdut nanti di bus dalam perjalanan. Bapak juga menantang kita semua joged. Bapak mau saweran, katanya.”

Tari tertawa kecil. Membayangkan ibunya bernyanyi mengimbangi cengkok suara ibu April yang jago nyanyi. Terakhir kali ibunya bernyanyi saat Bapak Tari masih hidup, itupun kerap digoda Bapak untuk berhenti. Setiap Ibu bersenandung menimpali mereka bernyanyi, selalu diakhiri senyum tersipu sebab Bapak kerap mencuri cium pipi ibu dan meminta disiapkan pisang goreng kesukaannya.

“Boleh. Bilang bapakmu, saweran minimal 200 ribu, buat jajan di Pangandaran!” Tari melihat April meneruskan percakapan di grup whatsapp keluarganya.

Deal kata Bapak, Tar! Ha-ha-ha.”

Tari terkikik. Namun Tari ingat Bapak. Tiba-tiba ada rasa perih dalam hatinya. Terutama saat April berkata, “beginilah ramainya chat  keluarga, apalagi tahu mau piknik begini, rempong!”

Keluarga besar bapak Tari cukup terpandang di kotanya. Apalagi salah satu paman Bapak adalah orang kepercayaan Jenderal Sudirman di masa perjuangan, yang kemudian mendirikan bank paska kemerdekaan. Kakak dan adik kakek Tari nyaris semua aktif dalam dunia politik atau pendidikan, sehingga mereka mendirikan sebuah yayasan. Di masa kecil, Tari sering ikut Bapak menghadiri rapat keluarga, menggantikan kakek. Tari tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan. Biasanya, jika Bapak sedang rapat, Tari duduk menunggu sambil membaca buku di teras rumah besar milik keluarganya.

Di kemudian hari, rapat-rapat itu menghasilkan pendirian sebuah kotel di kota kelahiran kakek, 60 kilometer dari rumah Tari. Ketika adik-adik kakek Tari meninggal satu persatu, kebijakan keluarga mengatur pengurusan hotel dan yayasan estafet pada anggota keluarga tertua. Jika orang itu meninggal, dilanjutkan kepada anggota keluarga berikutnya sesuai urutan usia.

Keluarga besar mereka menerbitkan buku silsilah keluarga lengkap dengan sejarah singkat tentang pendirian yayasan. Tentu, kebanggaan Tari mekar bertahun-tahun lalu, ketika media sosial belum seramai seperti saat ini.

“Tante dapat kabar, Angel mau nikah dua minggu lagi. Undangan untuk keluarga Bapakmu ada di Tante ya,” Suatu hari Tante Wike mengirim pesan.

Angel, sepupu dari Uwak Tari kesulitan mendapatkan alamat lengkap keluarga Bapak. Angel tidak punya nomor ponsel Tari dan  tidak berteman di facebook, sehingga Angel tidak langsung menanyakannya kepada Tari. Masih kata Tante Wike, ada grup whatsapp keluarga besar Wilantika, dan semua informasi penting disampaikan di grup itu. Tari menahan diri untuk bertanya, mengapa dia tidak dimasukkan ke dalam grup keluarga Wilantika. Padahal mudah melakukannya, hanya diperlukan sekali-dua kali klik sampai akhirnya nomor ponsel Tari tergabung dalam grup keluarga.

Tante Wike sebetulnya sangat baik, namun ia kalah kuasa dengan Om Ridwan, adik kedua Bapak. Bisa jadi Om Ridwan menghalangi Tante Wike untuk memasukkan Tari ke dalam grup keluarga. Sejak Bapak Tari meninggal, entah mengapa, keluarga mereka seolah-olah dikucilkan. Dulu saat di rumah sakit, ketika dokter berhasil mengeluarkan tujuh batu kecil dari ginjal Bapak, Om Ridwan menghasut saudara lain, bahwa itu akibat perbuatan Bapak yang tidak segera menyerahkan pengurusan yayasan padanya. Tari sakit hati. Apalagi saat mendiang Bapak masih hidup, Om Ridwan pernah menggelapkan uang warisan dari Oma Betje di Belanda.

Nenek Tari merupakan blasteran Belanda-Spanyol yang tinggal di Indonesia pada masa pra kemerdekaan, mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai tentara di Hindia Belanda. Nenek jatuh cinta dan menikah dengan kakek, kemudian menetap di Indonesia hingga akhir hayatnya. Oma Betje, adik nenek Tari, menetap di Belanda dan tidak menikah. Saat meninggal, surat pengadilan memutuskan warisan Oma Betje jatuh pada nenek Tari, saudara satu-satunya. Karena kelihaiannya, Om Ridwan menyediakan diri mengurusi soal warisan tersebut ke Belanda. Setelahnya, setiap ditanya, Om Ridwan selalu menjawab, “ribut amat, warisan gak seberapa juga ditanyain!” Dan bapak Tari, yang paham perangai adiknya, hanya berkata, “semoga kamu selamat, Wan. Hati-hati, itu amanat.”

Sejak saat itu, Tari mengerti bagaimana harus berurusan dengan pamannya yang satu itu. Menyedihkan, tapi begitulah hidup.

Kata Bapak, “akan selalu ada orang culas di keluarga manapun. Tinggal kita sikapi dengan baik. Anggaplah Om Ridwan itu contoh buruk, agar kita tidak melakukan perbuatan sama kepada orang lain. Tari harus tetap menghormatinya sebagai adik Bapak. Tapi hati-hati saja, hindari terlibat masalah dengan Om Ridwan, apalagi soal uang.”

Selama ini Tari tidak pernah mempermasalahkan apakah keluarganya dikucilkan atau tidak. Sesuai nasihat Ibu, Tari berusaha memaafkan keluarga besarnya dan tetap  bersikap baik pada mereka. Dan jika tidak sesuai harapan, petuah Ibu selalu menyejukkan hatinya, “maafkan mereka. Mereka tidak tahu. Biar nanti Gusti Allah bukakan kebenarannya.”

Beberapa tahun setelah kepergian Bapak, Tari tidak ambil pening dengan hal-hal yang sekiranya mengganggu produktivitas. Dalam banyak buku-buku selfhelp yang dibacanya, salah satu pemicu macetnya produktivitas adalah ketika isi kepala dipenuhi oleh persoalan tidak seberapa penting yang menghabiskan energi untuk dipikirkan. Tari memilah persoalan. Fokusnya hanya tetap bekerja dan membahagiakan Ibu. Kerja keras Tari membuahkan hasil, kemajuan di kantor berimbas pada kenaikan posisi Tari. Saat ini Tari menjabat sebagai area manajer untuk divisi pemasaran di perusahaan tempatnya bekerja. Tari menjadi semakin sibuk, dan mulai melupakan soal pernikahan. Dalam hal itu, Tari tetap menerapkan prinsip mengalir seperti air. Jika sudah tiba waktunya, tak ada yang bisa menghalanginya untuk menikah. Dan saat ini Tari merasa belum waktunya.

“Eh kita mau body rafting loh nanti, Tar! Siap-siap ya, bakalan seru loh.”

April mengangkat mukanya dari layar ponsel, menatap Tari yang tidak merespons.

Plak!

April menepuk lengan Tari. “Hei! Malah melamun!”

“Enggak kok, eh apa? Sambil syuting? Eh gimana?” Tari tergeragap.

“Lah… kok malah syuting. Body rafting, Tar, rafting! Ih, beneran ngelamun nih anak!”

Tari menarik napas panjang. Dia lupa, sejak tadi April masih duduk bersamanya dan membahas rencana piknik keluarga. Pikiran Tari malah piknik duluan, mengembara ke masa lalu dan situasi keluarganya.

“Hemmm… pasti mikirin Irwan ya? Cieee… yang baru ketemuan, inget terus ya?” April menggoda Tari dan menyenggol badannya.

“Apa sih? Bukan dong. Eh, kenapa jadi bahas Irwan sih?” muka Tari bersemu merah. “Aku lagi ngitung nih kira-kira nanti butuh berapa biayanya.”

Diam-diam April mengamati perubahan muka Tari. Dia senang jika sahabatnya itu akhirnya mau membuka diri. Tapi April tahu, Tari tidak bisa dipaksa. Tari akan bercerita jika merasa sudah siap. April selalu berharap kebahagiaan untuk Tari, dan mendoakan yang terbaik untuknya.

“Itu masih dibahas rame ya di grup?”

“Iya, Tar. Ini Dwi malah heboh mikirin baju pergi, ha-ha-ha.”

Renyah tawa April mengusik lagi perasaan Tari. Tari tidak iri pada kehangatan keluarga April. Tari senang sering dilibatkan dalam acara-acara keluarga mereka dan diajak berlibur bersama seperti sekarang. Rasanya seolah Tari menemukan kehangatan dari keluarga April, yang tidak didapatnya dari keluarga sendiri.

Tari yang ceria punya banyak teman dan disukai karena pembawaannya yang positif. Tapi kali ini Tari murung. Benaknya terus-menerus dipenuhi pertanyaan yang sama. Tari aktif dalam berbagai kegiatan selain kesibukan kantor. Tari pun sesekali mengikuti grup diskusi pembaca sesuai hobinya. Tari juga aktif menjadi admin dalam grup whatsapp komunitas. Sayangnya, Tari tetap tidak tergabung dalam grup keluarga satu pun, baik grup whatsapp keluarga Danu, kakeknya, maupun grup whatsapp keluarga Wilantika, kakek buyutnya. Sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya, betapa menjadi anggota sebuah grup whatsapp bisa begitu mengusik saat April bercerita.

Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Tari.

Diana menambahkan Tari ke dalam grup Royal Pamily.

Tari tersenyum dan maklum, Diana tidak tahu seharusnya mnggunakan huruf “F” pada kata “family”. Tari membuka grup whatsapp baru itu.

Tolong, di daerah Teteh sini masih kekurangan air minum dan popok bayi. Tadi juga masih ada gempa susulan beberapa kali. Ini Teteh masih ngungsi di tenda pos 5 di lapangan dekat kantor desa.

            Tari terkesiap dan mengutuk dirinya sendiri. Telah terjadi gempa berkekuatan 5,6 skala richter di kota kelahiran ibunya. Pesan grup itu menyadarkan bahwa Tari masih memiliki keluarga yang hangat dari pihak ibu. Dan rupanya mereka pun baru menyadari perlunya grup whatsapp keluarga setelah kejadian gempa tadi pagi. Tari terharu, akhirnya ia bisa menjadi anggota sebuah grup whatsapp keluarga, Royal Pamily.

***

Ratna Ayu Budhiarti  menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, fiksimini, dan beberapa naskah drama, salah satunya naskah Musikal Inggit yang dipentaskan pada Mei 2022 lalu. Menulis 8 buku tunggal (puisi dan cerpen), serta nyaris 60 antologi bersama. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Korea, dan Rusia. Beberapa karya bisa dilihat di laman https://ratnaayubudhiarti.wordpress.com

Dimuat di Kompas cetak Minggu 11 Oktober 2020


WARUNG PADANG TETANGGA

Cerpen: Ratna Ayu Budhiarti

Nasib memiliki rumah bertetangga dengan pemilik warung nasi padang itu ibarat perempuan yang kenyang dengan rayuan gombal. Setiap hari, aroma rempah masakan khas nasi padang itu menyapa penciuman. Di jam-jam tertentu, aroma masakan seperti rayuan disertai ajakan untuk merelakan diri dibelai-belai sepenuh hasrat. Bahkan kadang kala hasrat itu minta dituntaskan menjadi sepiring nasi hangat yang masih mengepul, potongan rendang atau ikan, disiram kuah gulai dan rendang di atas sayur daun singkong, ditambah sambal hijau sebagai topping. Udara panas ketika menyantap rasa pedas masakan ini berlomba dengan desahan puas, sesekali berseru: “tambo ciek!” seolah dunia milik sendiri dan diet adalah daftar terakhir dari seratus pantangan yang diingat. Begitulah imajinasiku tentang menikmati masakan padang langsung di tempatnya.

Kau tahu bagaimana rayuan maut lelaki, bukan? Sederetan julukan untuk lelaki perayu sudah banyak dikenal, mulai dari cassanova, don juan, buaya darat, hingga lelaki hidung belang. Sebutan ini tidak pernah mengenal kasta dan strata sosial. Setiap lelaki yang pandai merayu perempuan dan mengakibatkan perempuan mudah terjatuh dalam pelukan, mendapat julukan yang serupa. Dan perempuan, seringkali lupa diri ketika dimabuk rayuan. Bagi perempuan yang kebetulan pernah berjumpa dengan beragam tipe lelaki, meskipun sudah hapal berbagai jurus rayuan, ada perasaan senang diam-diam. Itu terbukti dari rona merah di pipi yang menyemburat tiba-tiba begitu terkena rayuan yang menggetarkan. Anehnya pula, meski tahu rayuan itu hanya gombalan untuk menyenangkan hati, perempuan tidak pernah kapok menerimanya.

Begitupun yang terjadi padaku setiap hari. Hidungku sering sekali dirayu oleh aroma masakan padang dari dapur tetangga. Dan walaupun tahu tak mungkin memakan masakan padang itu setiap hari, aku tak pernah merasa keberatan perutku digombali imajinasi, mereka-reka bagaimana olahan makanan itu dikerjakan. Apakah mereka jorok atau berseka selama memasak? Pertanyaan yang mirip dengan ini: gombalan apa yang akan dia berikan berikutnya, apakah rayuan lelaki ini dilontarkan pula pada perempuan lainnya? Mirip bukan? Jangan protes, sebaiknya kau iyakan saja perumpamaan suka-suka itu. Kerap kali aku juga merasa kenyang dengan gombalan aroma masakan padang tetangga, seperti aku merasa kenyang dengan rayuan gombal para lelaki. Walaupun tetap saja, suatu kali aku terjebak dan bagai dicucuk hidung menuruti hasrat dasar; mengenyangkan perut.

Sejak pukul enam atau setengah tujuh, dari dinding dapur tetangga yang bersebelahan dengan batas kolam, sudah terdengar suara anggota keluarga bertimpalan. Kadang terdengar sapaan sang kakek atau nenek menyapa cucu balitanya yang baru saja bangun. Tak lama suara ayah si balita itu turut pula menghangatkan suasana, mengajak sang anak bercanda. Kadang-kadang terdengar tangisan anak-anak yang berebut entah apa. Oya, anak balita itu sepasang kembar yang cantik dan ganteng. Mereka lucu dan menggemaskan sekali. Suara ibu balita jarang terdengar, mungkin karena pembawaannya yang tidak cerewet. Iya, sejauh yang kutahu sekilas, sebab aku tak pernah sempat bicara lama dengan mereka.

Pada pukul setengah delapan pagi, biasanya mulai terdengar suara desis pressure cooker atau kita biasa menyebutnya panci presto. Pasti mereka sedang merebus daging sapi. Berturutan dengan itu, aroma ikan kembung goreng menyeruak ke udara sekira pukul sembilan. Aku yakin, tanpa perlu melihat, aroma ikan yang sudah dimarinasi dengan garam dan jeruk nipis telah digulingkan dalam bumbu halus campuran bawang putih, bawang merah, dan kunyit, kemudian digoreng dalam minyak panas hingga matang kecoklatan.

Kau tahu, di hari-hari tertentu ketika aku berlatih yoga pada jam mereka memasak, seringkali pikiranku tak bisa fokus pada asana yang sedang dipelajari. Godaan datang terutama ketika sudah lama tak memakan masakan padang, dan lidah sedang sangat rindu pada pesona rasa yang memikat lidah. Tentu bisa kau bayangkan bagaimana aku seolah diburu menyelesaikan latihan karena ingin segera lari membeli rendang dan perkedel, meminta tambahan kuah rendang disiramkan lebih banyak di atas sayur daun singkong dengan sedikit sambal hijau. Biasanya aku jarang sekali membeli porsi komplit dengan nasi, sebab sudah ada nasi di rumah. Aku hanya mengidamkan lauknya saja. Sesekali, ketika keengganan memasak itu tiba, walau hanya tinggal memencet tombol majic jar untuk memasak nasi, ke sanalah aku pergi, warung nasi padang tetangga. Kalau sedang beruntung bertemu Uni, sang nenek balita, sebungkus nasi putih hangat seharga lima ribu rupiah sering dibonusi potongan ayam goreng. Seringkali kutolak, karena aku memang hanya hendak membeli nasi.

“Jangan Uni, ini cuma perlu nasi aja, malas masak, tapi mau sekalian menghabiskan lauk kemarin,” kutolak halus pemberiannya.

Dan sesering itu pula Uni memaksa memasukkan potongan ayam goreng itu ke dalam kertas nasi.

Biarin, enggak apa-apa. Uni kan gak bisa kasih apa-apa sama tetangga.”

Kalau sudah begitu, rejeki tidak boleh ditolak, bukan? Ibaratnya, rayuan yang tiap hari mampir ke hidung itu berbonus kegembiraan sebuah pembuktian cinta yang nyata. Kumaknai itu sebagai wujud cinta Uni, sang tetangga.

***

            Setiap hari, rutinitas memasak mereka tidak pernah berubah. Pagiku diramaikan dengan cicit burung setiap membuka jendela kamar di lantai dua, disambung suara celotehan tetangga di dapur mereka, sebelum akhirnya aku pun sibuk dengan rutinitas pagiku sendiri. Membereskan ruangan dan mulai bekerja di depan layar komputer setelahnya.

            Aku memang seseorang yang sangat betah berdiam di rumah. Bisa berhari-hari hanya keluar beberapa langkah saja ke teras depan, ke samping rumah, atau kebun belakang. Jadi bisa saja, aku tidak tahu apa yang terjadi di luar rumah. Dan aku kadung nyaman dengan kebiasaan tersebut.

Sudah beberapa hari ini, rayuan aroma masakan padang tak pernah mampir lagi ke hidungku. Awalnya tak terlalu kuperhatikan. Tapi lama-lama penasaran juga, kenapa pada setiap jam biasa, suara kesibukan memasak saling bertingkah antara blender yang menguarkan aroma cabai sebelum jadi sambal, suara desis panci presto, dan seruan-seruan lain, tak pernah lagi menggodaku untuk membayangkan bagaimana mereka mengolah masakan yang lezat.

Akhirnya kudatangi warung nasi tetanggaku, untuk memastikan mereka masih berjualan, sekaligus melihat apakah mereka memang berada di rumah atau sedang mudik ke kampung halaman. Kemungkinan kedua rasanya sangat tidak  mungkin, sebab di masa penjarakan sosial karena virus Corona ini, semua orang dilarang bepergian. Aktivitas masyarakat serba dibatasi. Pasar tradisional hanya dibolehkan beroperasi dari pukul lima pagi hingga pukul satu siang. Tukang ojek pangkalan menunjukkan wajah-wajah lesu, pedagang makanan keliling ragu-ragu. Semua dilanda kekhawatiran yang besar terhadap virus yang menyerang seluruh negara di dunia dengan serempak. Dan karena pada dasarnya aku jarang keluar rumah untuk hal yang tidak terlalu penting, pemberlakuan peraturan untuk diam di rumah saja rasanya tidak terlalu menyiksa.

Rasa heran masih menaungi pagiku karena rutinitas yang hilang. Ibarat seorang perempuan yang gelisah bertanya mengapa hari-hari belakangan tak pernah lagi mendapatkan rayuan gombal lelakinya. Apakah sudah pindah ke lain hati atau sedang jenuh? Rasanya tetanggaku tak mungkin pindah, karena mereka belum setahun membangun rumah di atas lahan warisan ayahku yang sudah terjual itu. Kecil kemungkinan pula mereka jenuh lalu beralih pada bisnis lainnya. Di kota kecil ini, warung nasi mereka merupakan satu-satunya yang menjual cita rasa masakan padang dengan baik. Jadi pasti tak ada saingan. Pelanggannya akan kehilangan jika mereka tutup.

Kumantapkan langkah kaki menuju warung tetangga. Tak ada aroma rempah yang gurih.

“Dek, lho, buka ya ternyata,” kusapa menantu Uni yang sedang berjaga di warungnya.

“Iya Mbak, buka kok. Tapi ya begitu, tidak seramai kalau normal. Mbaknya mau cari apa?” perempuan manis ini selalu mengakhiri kalimat dengan senyum ramah.

“Gak, Dek. Lihat-lihat aja. Sudah makan tadi. Syukurlah kalau masih buka. Kalau saya malas masak, tinggal lari ke mari,” aku menyembunyikan motif asliku mendatanginya. Buru-buru aku pamit dengan alasan kebetulan lupa memakai masker.

Lega rasanya menjumpai mereka masih berjualan seperti biasa. Walau aku tak berani bertanya, kapan mereka memasak dan tetap berjualan dengan menu yang sama: gulai, rendang, perkedel, ikan kembung, balado, ayam pop, telur dadar, tempe, teri terong cabai hijau, sayur nangka, sayur daun singkong, dan yang terpenting: sambal hijau. Kau mungkin bertanya bagaimana aku bisa memastikan semua menu lengkap. Kuberi tahu, setiap kubeli salah satu menu, sambil memerhatikan Uni atau siapapun mengambil pesanan, kuamati makanan itu satu persatu. Dan karena mereka tidak pernah mengubah posisinya, aku hapal dengan sendirinya, di piring tumpukan ke berapa letak jenis-jenis makanan itu.

Pernah suatu hari aku bertanya sambil berkelakar setelah Uni lagi-lagi memberi bonus, kali itu potongan rendang. Aku pesan dua, Uni memasukkan tiga potong.

“Un, selain resep turun-temurun, ada ritual khusus atau pantangankah biar masakannya terasa lezat begini?” kulontarkan pujian di ujung pertanyaan.

“Ah, Adek nih. Enggak lah, masak ya biasa aja. Harus bersih, harus hati-hati. Oya, masaknya harus gembira biar masakannya enak.” Uni menanggapi sambil tertawa.

“Yakin nih, Uni, cuma itu saja? Pakai jampi-jampi gak Un? Kan suka ada tuh pedagang lain yang kalau pagi-pagi menciprat-cipratkan air cucian beras di sekeliling gerobak atau di halaman kedainya sambil komat-komit seperti membaca sesuatu. Atau ada pantangan gak boleh jualan hari Senin.” Aku tetap mengejarnya dengan pertanyaan berdasarkan pengamatanku pada kedai minuman coklat di seberang jalan.

“Hahaha… Enggak lah. Ya paling Uni sih pantang masak dilihat orang lain selain orang rumah. Bukan apa-apa sih, takutnya grogi. Ini, Dek, lima belas ribu aja,” Uni menyorongkan pesanan sebagai tanda menutup percakapan.

Perbincangan itu terjadi dua minggu lalu, sebelum aku dilanda rasa penasaran luar biasa tentang isi dapur mereka, bagaimana mereka mengolah semua bahan makanan agar bisa jadi hidangan paling diburu oleh para penikmat masakan berempah.

Pagi lain lagi-lagi rayuan aroma masakan padang mengusikku. Selalu begitu, sesuai jadwal mereka memasak. Kebetulan Mang Udin baru saja membetulkan tepian kolam ikan yang berbatasan dengan dapur tetanggaku itu. Batu-batu besar disusun di atas pematang. Entah mendapat bisikan dari mana, aku mendekati dapur mereka, mencari batu yang lebih tinggi setelah menaiki pematang kolam. Ada lubang kecil yang bisa dijadikan celah untuk mengintip. Aku terbelalak melihat pemandangan di dapur itu. Saking kagetnya, aku terpeleset dan tercebur ke kolam, mengagetkan ikan-ikan. Celotehan tetanggaku langsung terhenti. Kuduga mereka sedang saling lirik dan bertanya-tanya. Ah, keisenganku itu memang bukan untuk diulang.

***

Sudah menginjak minggu ketiga, aku masih tak bisa mencium aroma masakan tetangga. Aku rindu mendengar seruan dan celotehan mereka di dapur. Aku rindu otakku dirayu untuk memakan masakan padang. Tapi sudah terbukti, mereka masih berjualan. Baiklah, akan kuobati kerinduan itu dengan membeli saja masakan mereka. Kadang-kadang rindu memang aneh.

“Uni, saya mau perkedel tiga, ikan kembung dua ya. Minta kuah rendangnya juga.”

“Siap, Dek!” cekatan tangan Uni melayani.

“Mmm…Uni, maaf, kalau boleh tahu, Uni sekarang masak pukul berapa ya? Kok saya gak pernah dengar lagi suara ramai di dapur? Bahkan aroma rendang yang selalu menggoda itu tak pernah lagi saya cium.” Akhirnya aku tak tahan bertanya.

Uni mendadak menghentikan gerakannya. Wajahnya segera berbalik, matanya menatapku tajam.

“Adek mengintip dapur Uni?”

***

Ratna Ayu Budhiarti  lahir di Cianjur 9 Februari 1981, menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, dan fiksimini. Menulis naskah untuk Happy Salma: Teater Musikal Inggit (2020). Menulis 7 buku tunggal, di antaranya Magma (2017), dan Sebelas Hari Istimewa (2019), serta tergabung dalam hampir 50 antologi bersama. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Korea, dan Rusia. Beberapa karya bisa dilihat di laman https://ratnaayubudhiarti.wordpress.com

GITA CINTA DARI SMA, FILMISASI NOVEL


Minggu, 5 Februari 2023 lalu saya mendapat undangan untuk menonton Gala Premierre film “Gita Cinta dari SMA” dari Kang Rosyid E. Abby (Forum Film Bandung). Film yang diangkat dari cerita bersambung (kemudian dijadikan novel) berjudul sama karya Eddy D. Iskandar dibuat versi “remake”-nya. Tahun 2023 ini, film yang akan diputar di bioskop pada 9 Februari 2023 itu, diperankan Oleh Prilly Latuconsina dan Yesaya Abraham. Selain mereka berdua, film ini juga dibintangi oleh Dwi Sasono, Putri Ayudya, Dewi Gita, Unique Priscilla, Arla Ailani, Chantiq Schagerl, Abun Sungkar, dan Fadi Alaydrus

Sebagai seorang yang tidak mengalami masa SMA di akhir tahun 70-an (iya, saya belum lahir saat film berjudul sama dirilis tahun 1979), saya bisa melihat beberapa hal yang masih nyambung dengan kehidupan anak milenial atau gen Z sekarang, terutama tema percintaan remaja. Film orisinal dibintangi Rano Karno (sebagai Galih) dan Yessy Gusman (sebagai Ratna), dua bintang film yang cukup populer pada masanya, sehingga film tersebut juga menjadi film yang legendaris karena kesuksesannya.

Diproduseri Chand Parwez Servia dan Fiaz Servia (Starvision), kali ini film Gita Cinta dari SMA disutradarai Monty Tiwa. Dengan “warna” cerita yang manis, beberapa sudut kota Bandung mampu direkam dengan cantik dalam bidikan kamera, sehingga tampilan gambar terasa memanjakan mata dengan nuansa ceria. Walau saya yakin, tugas manlok –manajer lokasi, yang bertugas meriset, mengidentifikasi, dan mencari lokasi yang dibutuhkan untuk penggarapan film bertema tahun 80-an tersebut tidak mudah. Apalagi bangunan “heritage” di kota Bandung, sudah mulai berkurang atau ditambahi printilan AC, misalnya.

Satu hal lain yang perlu dinikmati juga adalah keberadaan musik sebagai penunjang film. Lagu-lagu dalam film edisi remake ini masih tetap menggunakan lagu yang sama, tapi dinyanyikan oleh musisi baru, dengan penata musik Ricky Lionardi.

Akting para pemain bisa dibilang cukup bagus, terutama pemilihan aktor dan aktris yang cukup mumpuni dan berpengalaman dalam “bermain watak”. Karakter seorang ayah yang tegas (cenderung galak) cukup berhasil diperankan Dwi Sasono. Terutama adegan saat sang ayah memberi tahu Galih untuk menjauhi Ratna, anaknya, karena perbedaan kelas sosial mereka. Sebagai Ratna dalam dunia nyata, pengalaman serupa Ratna dalam film pernah juga saya lewati. Tentu, bagian ini kapan-kapan saya ceritakan. Kalau tidak berubah pikiran.

Kurva emosi selama film berlanjut cukup baik, ada adegan haru ketika Mbak Ayu, adik ayah Ratna yang begitu dekat, harus berpisah karena Ratna dijodohkan dan kuliah di Yogya. Potret cerita yang nyaris selalu ada dalam sebuah keluarga, selalu ada satu tokoh yang berpihak pada pemeran utama. Emosi lain yang mengaduk perasaan penonton adalah ketika Ratna dan Galih memutuskan berpisah dengan berat hati, walau terbersit keinginan Ratna untuk kabur saja. Iya, cinta kadang membikin seseorang menjadi tidak jernih berpikir.

Gala Premierre yang dilangsungkan di studio XXI di Ciwalk, Bandung, adalah yang pertama dilakukan, mengingat penulis cerita dan latar ceritanya berasal dari Bandung. Helatan sore itu menghadirkan beragam generasi, dari usia remaja hingga tua –terutama ibu-bapak yang mengalami periode nonton film orisinalnya. Mayoritas penonton mengenakan busana dengan nuansa era 80-an sesuai “dress code” yang tertera di undangan. Selain diikuti oleh sejumlah undangan yang berasal dari beragam kalangan (pelajar, akademisi, jurnalis, selebgram, artis), juga dihadiri oleh beberapa pemeran dalam film tersebut. Setelah film usai diputar, ramah-tamah pun dilangsungkan untuk memfasilitasi rasa penasaran fans dan penonton yang ingin lebih dekat dengan sang aktor/aktris. Hadir pula Yessy Gusman, pemeran Ratna dalam film tahun 1979. Saat dikonfirmasi tanggapannya tentang kesan dari beberapa orang (terutama generasi “jadul) yang membandingkan saat filmnya dibintangi Yessy, dia menjawab, “Masing-masing punya kelebihannya, pemain sekarang juga bagus. Film itu punya keistimewaan sesuai masanya.”

Film ini layak ditonton bersama keluarga. Sebab isinya tidak melulu drama percintaan, tetapi juga mengusung pesan mengenai persahabatan, dan “parenting”. Bagi saya, menyusun skala prioritas sebagai seorang anak dan orang tua adalah dua hal yang juga perlu digaris bawahi. Selebihnya, film ini ringan dan mudah dicerna, cocok untuk hiburan akhir pekan, jika selera Anda adalah genre film sejenis demikian.

#RAB, 07/02/2023

#rabbercerita #reviuRAB #reviufilm #GitaCintadariSMA

MANGKUK AYAM BUKAN MANGKUK SAPI


MANGKUK AYAM BUKAN MANGKUK SAPI

Pernah makan bakso? Kenapa mangkuknya tidak bergambar sapi, kan yang dimakan bakso sapi bukan bakso ayam? Kenapa ya mangkuk-mangkuk itu harus bergambar ayam?

Seingat saya, sejak pertama kali saya membeli bakso Mang Aji di Cianjur jaman masih kecil, akhir tahun 80-an, mangkuknya bergambar ayam, dengan tulisan Ajinomoto di pinggirannya. Memang MSG bermerek Ajinomoto sedang hits saat itu. Kebetulan nama penjualnya juga Aji. Kebetulan lainnya: cita rasa baksonya terkenal se-Gang Dukuh. Saya pikir itu yang membuat ingatan saya membuat rumus bakso enak=bermangkuk gambar ayam=bakso Mang Aji=Ajinomoto.

Demikian pula penjual bubur Cianjur, beberapa menggunakan mangkuk gambar ayam. Kemudian setelah merek Miwon muncul, mangkuk gambar ayam juga berterakan merek Miwon. Kabarnya sih beli MSG bermerek tersebut dalam jumlah tertentu, berhadiah mangkuk.

Belakangan, gambar ayam muncul tak hanya di mangkuk. Banyak juga tertera di piring, gelas, pisin (lepek-an), bahkan kaus, sarung bantal, selendang, dan tas jinjing. Gambar ayam seolah jadi tren bergengsi dan menautkan ingatan pada rasa lezat, rasa enak, rasa penuh kenangan, namun jelas bukan rasa pengin balikan dengan mantan. #ehgimana

Menarik sebetulnya menelisik soal tren gambar ayam yang berdiversifikasi dari cawan/mangkuk ke benda lain, dan menjadi alat pemasaran beberapa barang dan merek dagang.

Berdasarkan hasil penelusuran, mangkuk bergambar ayam ini berasal dari China, sejak era Dinasti Ming, tepatnya Kaisar Cheng Hua (1465-1487). Ayam menjadi lambang kerja keras. Dan pada cawan aslinya, gambar ayam lengkap jantan dan betina, juga anak-anaknya, yang konon jadi lambang kesuburan dan kemakmuran. Di negara asalnya, mangkuk gambar ayam menjadi salah satu barang wajib untuk seserahan pengantin. Di Indonesia sendiri mangkuk bergambar ayam dikenal sejak dibawa oleh para perantau di abad ke-20. Oya, beberapa waktu lalu mangkuk ayam ini pernah juga dijadikan google doodle loh!

Kenapa sih pagi-pagi bahas mangkuk ayam? Padahal awalnya cuma pengen bilang, yamin manis yang saya makan ini enak. Walau kadang-kadang lezat tidaknya makanan, tergantung siapa yang menemani, kan?

Jadi, kapan kita makan bermangkuk ayam lagi?

#RABbercerita #ceritaRAB #mangkukayam #mangkokayam #mieayam #miebakso #citarasa #lezat

HERMES BABY BERSEJARAH


Ketika tas bermerek Hermes belakangan ini melambung namanya, saya baru sadar kalau kami justru sudah tak asing dengan merek tersebut, walau beda wujud. 🤣Ya, benda bersejarah ini, Hermes Baby, adalah mesin tik yang menemani saya di awal 90-an. Mengetik banyak puisi, sedikit cerpen, dan beberapa kisah perjalanan.

Alm. Papa membiarkan saya mencoba belajar mengetik sendiri. Hingga akhirnya saya lebih sering menggunakannya.

Pada masa awal tip-ex belum muncul, saya harus berhati-hati menekan huruf demi huruf agar tidak perlu mengulang ketikan dan menghamburkan kertas. Maka ketika tip-ex cair lalu tip ex kertas muncul, saya merasa sangat terbantu.

Puisi-puisi yang saya ketik di mesin ini, mengantarkan saya pada titik sekarang. Dalam artikel Wikipedia, disebutkan saya aktif sejak tahun 2000. Namun sesungguhnya karya saya sudah dimuat sejak 1992 (kelas 6 SD, tetapi belum cukup produktif untuk “dikenal” nama). Mesin tik ini adalah saksi bisu perjalanan panjang kepenulisan saya.

Saya melompati periode mesin tik elektronik. Keluarga kami ketat pada prinsip berhemat, jadi kami tidak pernah membeli mesin tik elektronik. Ketika beralih kenal komputer, jasa sewa adalah solusi. Termasuk saat mengetik skripsi. Saya baru membeli komputer –PC dan laptop– saat sudah bekerja, memiliki penghasilan sendiri.

Saat ini, pilihan mengetik sudah semakin mudah. Jika malas duduk menghadapi PC, ada laptop dan ponsel yang lebih mudah dibawa ke mana saja, agar tidak lagi beralasan mengerjakan tulisan di rumah. Kini, aplikasi di ponsel sudah semakin canggih, dan kita bisa mengetik kapan saja, di mana saja.

Selayaknya semangat, naik turun sudahlah tentu. Ada masa saya ingin menyerah dan berhenti menjadi penulis atau pengarang. Dan tiap memandang mesin tik ini, saya kembali menggeleng dan berkata pada diri sendiri, “Saya akan terus berkarya!”

Semoga. 😊

Reviu Film Nana (Diperankan Happy Salma)


BEFORE, NOW&THEN (NANA)

“Pan istri mah kedah pinter nyidem rusiah…”
Demikian suatu hari Nana berucap pada Dais, sang anak, yang bertanya mengapa perempuan harus berambut panjang dan bersanggul.

Cerita tentang Nana, diambil dari buku Jais Darga Namaku, karya Ahda Imran. Nana adalah ibu Jais Darga. Walau menurut saya kehidupan Jais Darga sendiri menarik disimak dan terasa filmis, namun penggalan kisah sang Ibu tak kalah menarik untuk disuguhkan.

Nana, seorang perempuan yang kehilangan suaminya kemudian juga kehilangan ayahnya, harus melarikan diri dan menghindari gerombolan. Keluar masuk hutan, dari Limbangan (Garut) ke Lembang (Bandung), bertemu Lurah Darga, kemudian dinikahi hingga memiliki 3 anak dari pernikahan keduanya. Setelah 15 tahun berlalu, suami pertamanya muncul kembali.
Apa yang terjadi? Haruskah kebahagiaan Nana ditukar dengan mengembalikan masa lalu? Tonton saja filmnya di aplikasi Prime Video.

Film besutan Fourcolorsfilms ini telah menyabet berbagai penghargaan di festival-festival luar negeri. Walau alurnya terkesan “ngayayay” alias terasa sangat lambat bagi saya yang gemas dengan beberapa adegan yang rasanya tidak perlu berpanjang-panjang, tapi konflik batin Nana disuguhkan oleh akting Happy yang total. Film yang dilabeli untuk usia 16+ ini memperlihatkan adegan merokok, dan konsen antara manusia dewasa. (Ingat, jangan ajak anak bawah umur nonton film ini!)

Sebagai sesama keturunan Sunda, saya bangga ada film yang menggunakan bahasa Sunda penuh dalam seluruh percakapannya. Meskipun pada beberapa kalimat, dialek terdengar agak kaku. Barangkali karena beberapa pemain pendukung bukan orang Sunda. Tapi salut, mereka sudah bekerja keras belajar untuk melafalkan bahasa dan dialeknya agar lebih terasa “lidah Sunda”. Yakin benar, itu tidak mudah. Maka tidak heran para aktornya pantas diacungi jempol.

Dari segi visual, saya mendapat kesamaan kesan dengan salah satu film favorit saya, In The Mood for Love (2000) –bisa dibaca di sini: https://ratnaayubudhiarti.wordpress.com/2022/03/20/ulasan-film-in-the-mood-for-love/

Dalam beberapa adegan, saya “mengenali” kemiripan tersebut. Misalnya saja saat Icang menyandarkan lengan pada tembok dan mukanya dekat dengan muka Nana yang bersandar di tembok yang sama saat mereka berjumpa. Film In The Mood for Love ditutup dengan adegan Mr. Chow berbisik pada lubang kuil di Kamboja dan menutupnya dengan tanah, sedangkan film Before, Now&Then (Nana), ditutup dengan adegan sang pemeran utama, Nana, berbisik rahasia pada Dais.

Oya, soal audio, latar musik mengingatkan saya bahwa kadangkala film yang bagus itu bisa membawa pengaruh pada karya lainnya. Namun, bukankah demikian dalam dunia seni dan cipta karya? Selalu saling menginspirasi dan terinspirasi.

Rasanya tidak puas ketika film ini tamat. Walau sudah nonton di aplikasi, tapi saya tetap menanti edisi layar bioskop. Bagaimanapun, kepuasan mengkhidmati audio dan visual di bioskop itu berbeda.

#RAB, 02082022

KEKASIH TAK DIANGGAP DAN CINTA YANG KERAS KEPALA


Sudah beberapa waktu lalu saya mengambil jarak dengan puisi. Bukan bosan atau jenuh. Tapi ibarat sebuah hubungan, kita memang perlu menciptakan jarak agar rindu terus terjaga, bukan? Pergulatan saya dengan puisi, tidak mungkin menjadikan saya putus hubungan. Lewat puisi, banyak kota telah saya singgahi. Tersebab puisi, banyak pencapaian-pencapaian saya yang terasa ajaib dan penuh kejutan. Saya tahu, sejauh apa pun saya pergi, bertualang di rimba kata-kata, puisi akan tetap memanggil saya kembali. Saya “dilahirkan” puisi. Di sela berjarak itulah, saya kerap menulis ulasan, naskah, cerita pendek, atau fiksimini. Juga membaca buku-buku selain puisi.

Selalu tiba waktu puisi merindukan saya, atau sebaliknya. Juga perasaan “terpaksa rindu” karena satu-dua alasan lain. Kali ini panggilan puisi menuntun saya membaca buku Herlinatiens berjudul “Kereta-kereta di Kepala Zialo” yang terbit pada Oktober 2020.

Anda tahu bagaimana rasanya saat haus lalu disodori segelas minuman kesukaan? Anda tentu akan menikmati dengan kelegaan, perlahan, seteguk demi seteguk. Inilah yang saya lakukan pada buku kumpulan puisi pertama Herlinatiens. Saya lebih dulu kenal penulisnya sebagai prosais, yang telah menerbitkan 14 novel. Sebuah kejutan, puisi-puisi di dalam buku ini mampu menyedot perasaan saya –sesuatu yang sudah lama saya nantikan.

Benang merah pada buku ini ada pada judul di atas. Ya, saya terhanyut ke dalam tokoh aku, mencintai Zialo atau kekasih-kekasih lain yang singgah menitip hati lalu pergi. Kepasrahan jadi seseorang yang diabaikan di antara beragam alasan, tapi dicari ketika kekasihnya kesepian adalah perasaan-perasaan melankolik bagi perempuan yang dadanya dipenuhi cinta yang semena-mena datang dalam situasi tidak tepat.

Saya kesulitan memilih puisi favorit di buku ini. Nyaris setiap setelah jeda halaman berisi ilustrasi, saya memilih satu, dua, atau tiga puisi. Tetap saja jadi banyak. Saya merasa Herlina melibatkan seluruh pancainderanya dalam menulis –enam, dengan hatinya. Dan sesuatu yang ditulis dengan hati, akan sampai pula ke hati. Saya tidak akan bertanya pengalaman siapa yang dimasukkan ke dalam tokoh setiap aku di puisi-puisinya. Sebab sebagai penulis, bahkan pengalaman yang didengar, dilihat, dan dibaca pun bisa menjadi seperti teralami sendiri.

Cinta yang keras kepala bertahan menjadi-jadi dalam puisi. Ia akan mencari cara. Seperti di halaman 13, puisi berjudul “Berbincang dengan Subuh” pada paragraf awal:

“Aku membeli satu set akrilik dan kanvas. Hendak
kutanam bangku panjang pohon rindang dengan
lampu kota dan sebuah buku. Agar kita bisa lebih
gampang bertemu. Di dalam situ.”

Lihatlah, betapa ketidakberdayaan pada situasi tertentu membuat si tokoh aku dalam puisi tersebut menguatkan dirinya untuk menciptakan dunia sendiri. Walau tetap saja rasa sakit tak jua sembunyi jelang paragraf akhir:

Juga pada puisi “Merapal Rel di Tubuhmu”

aku memiliki jendelaku sendiri
untuk memandang jaring laba-laba
dan tetap mengasihimu

sebagai sudut remang yang sesekali saja kau temui
hatiku mulai berakar
aku hanya akan diam-diam
aku hanya akan diam-diam
aku hanya akan diam-diam

Cinta ternyata semenyakitkan itu. Namun seperti dalam puisi “Pertemuan Teh dan Kopi” pada halaman 21, sekali lagi penulis mengungkapkan betapa keras kepalanya cinta:

“…
apa yang tidak aku tahu adalah, ratusan purnama
menunggu, puluhan musim menanti, untuk kulalui
seorang diri dan disangkal di kemudian hari.”

Tentu saja, ada beberapa yang mengganjal bagi saya pribadi ketika berjumpa rangkaian diksi. Misalnya “menenun air” atau “tumbuh mencair tanpa tali”. Kedua contoh tersebut membuat saya sejenak berhenti membaca dan mencoba memikirkan majas yang dibuat. Saya tidak akan mencoba membedah dengan pisau teori apa pun. Kali ini, saya hanya ingin menikmati. Sebenar-benarnya menikmati, sampai ke dalam hati. Silakan pembaca lain menanggapi.

Akhirnya puisi-puisi di buku ini terasa ibarat suara yang menyisakan gaung yang panjang dari dinding gua bernama hati. Setiap habis membaca satu puisi, selalu tarikan napas panjang diperlukan demi melegakan dada. Iya, mencintai bisa demikian sakit sekaligus candu untuk kekeh bertahan, walau posisi aku lirik seperti tidak pernah berubah pada banyak puisi: jadi kekasih yang diabaikan.

Bacalah, sebab buku ini akan membuatmu memahami cinta dalam dirimu sendiri.

RAB, 12 Mei 2022

Judul: Kereta-kereta di Kepala Zialo
ISBN: 978-623-93949-7-4
Penerbit: Galeri Buku Jakarta
Halaman: xxi+110 halaman, 11 cm x 18 cm

NONTON VICTORIA


Saat orang lain ngobrolin drakor seri lama maupun terbaru, saya tetap setia menonton Victoria. Serial tentang Ratu Inggris dan Britania Raya.
Baru sampai Season 3 episode 3. Season terakhir sampai episode 8. Namun kabarnya bakalan ada season 4 dengan nuansa yang lebih “gelap” berlatar tahun 1852.

Saya jarang menyukai film seri. Namun untuk Victoria adalah pengecualian. Sejak kecil, buku bacaan tentang kehidupan kerajaan begitu menarik, membawa imajinasi mengembara ke istana dan kehidupan di sana.

Film seri yang juga sempat saya gandrungi salah satunya adalah The Third Eye (film Norwegia) dan Marvel’s Agent of S.H.I.E.L.D.S. Seri film dengan tema petualangan, detektif, fiksi ilmiah, dan pahlawan super itu juga tidak beda jauh dengan seri Victoria. Maksud saya, dalam pengolahan konflik dengan intrik-intriknya. Bedanya, yang satu bertabur pengetahuan tentang dunia mata-mata, satunya lagi bertabur keindahan alam kerajaan yang diam-diam menyimpan tipu daya.

Dalam film seri Victoria, saya menemukan benang merah salah satu tokoh film dengam buku bacaan: Pangeran Ernest. Dia adalah saudara Pangeran Albert –suami Victoria. Pangeran Ernest juga diceritakan sedikit dalam novel Pangeran dari Timur karya Mas Kurnia Effendi dan Mas Iksaka Banu. Gambaran karakter Pangeran Ernest yang  merupakan salah satu teman baik Raden Saleh itu sinkron antara novel dan film seri ini.

Saya jadi berpikir, mengapa belum ada produser yang tertarik membuat film tentang Raden Saleh berdasarkan novel mereka?

*foto dari Amazon.

===
Victoria adalah serial drama televisi Britania Raya yang dibuat dan ditulis oleh Daisy Goodwin, dibintangi oleh Jenna Coleman sebagai Ratu Victoria. Serial ini ditayangkan perdana di Britania Raya pada ITV pada 28 Agustus 2016 dengan delapan episode, dan di Amerika Serikat pada PBS pada 15 Januari 2017; PBS mendukung produksinya sebagai bagian dari antologi Masterpiece. (Keterangan dari Wikipedia)

Ulasan Film IN THE MOOD FOR LOVE


“CINTA TÉH PASALINGSINGAN, JUNGJUNAN”
— Cinta itu selisipan!

Mengapa judul ulasan ini menggunakan bahasa Sunda? Sebab saya gemas setelah “begadang” hingga pukul 12 malam menonton film “In The Mood for Love” via aplikasi Vidio.

Anda yang sudah pernah naik kereta api, atau pernah melihat, tentu tahu bagaimana besi rel kereta selalu bersisian, sesekali bertemu ketika kereta harus masuk atau keluar stasiun. Demikian saya mengibaratkan cinta kedua insan dalam film tersebut. Selalu bersisian, tidak bernah benar-benar bisa bersatu. Anda tahu bukan, cinta semacam itu begitu indah, tapi sekaligus menyakitkan pada waktu bersamaan?

Dua tokoh utama film ini, Maggie Cheung memerankan Su Li-zhen alias Mrs. Chan, dan Tony Leung Chiu Wan memerankan Chow Mo-wan, ibarat rel kereta api, bertemu di stasiun nasib. Keduanya menyewa kamar apartemen, dan menjadi tetangga pada hari yang bersamaan. Tidak ada yang terjadi sebelumnya. Mereka hanya sering selisipan di jalan, berjumpa saat Mrs. Chan membeli mi pada hari-hari suaminya tak ada di rumah, dan Mr. Chow pun melakukan hal yang sama saat istrinya sedang pergi ke luar kota/negeri berhari-hari. Kali lain, mereka berjumpa di dapur bersama apartemen mereka. Mrs. Chan yang gemar membaca cerita bersambung di koran, bertitik temu dengan hobi membaca Mr. Chow yang memiliki koleksi buku-buku yang dipinjamkan pada Mrs. Chan. Hanya seperti itu. Nyaris selalu semacam itu. Jumpa, basa-basi, saling tersenyum, dan melanjutkan aktivitas masing-masing selayaknya tetangga baik.

Suatu hari Mrs. Chan, sang sekretaris itu menyadari dasi yang digunakan bosnya berbeda. Tentu saja dasi biasa dibelikan istri, satunya lagi hadiah dari kekasih si bos. Dan ketika bosnya terkejut mengapa sang sekretaris itu menyadari perbedaannya, dia pun mengganti dasinya. Mrs. Chan berkata lirih, “kita menyadari perbedaan ketika memperhatikan.”
Sebuah kalimat yang seolah dia gaungkan untuk dirinya sendiri, yang tidak sengaja memperhatikan dasi Mr. Chow yang persis sama dengan dasi suaminya, Mr. Chan.

Pertemuan Chow dan Mrs. Chan di selasar, di depan pintu apartemen masing-masing saat Mrs. Chan membawa tas tangan yang sama persis dengan istrinya adalah muasal bagaimana keduanya mengungkap misteri yang terjadi di antara pasangan mereka masing-masing. Jumpa saat makan malam adalah langkah berikutnya untuk menguak bagaimana semuanya bermula. Mereka saling bertanya berapa hari istri Mrs. Chow akan pulang, dan Mr. Chan dinas luar negeri. Mereka menemukan banyak kebetulan yang klop. Selalu, jadwal pasangan mereka dinas luar, berlangsung bersamaan. Akhirnya mereka mencurigai, kepindahan mereka ke apartemen yang bersebelahan telah direncanakan pasangan masing-masing.

Lalu begitulah, Mrs. Chan yang cantik dan kesepian itu berulangkali mengadakan pertemuan dengan Mr. Chow. Mereka mengira-ngira bagaimana semuanya berawal, apakah suami Mrs. Chan yang pandai merayu, ataukah istri Mr. Chow yang genit menggoda. Mereka berdua mendiskusikan setiap kemungkinan dan memeragakan reka adegan seandainya mereka jadi orang yang diinginkan pasangannya. Lihatlah bagaimana ketika makan di restoran, Chow kena tegur saat berusaha menggoda Mrs. Chan sebab menurutnya suaminya itu akan lebih lihai lagi merayu. Sedangkan Chow menambahkan saus sambal lebih banyak di  piring Mrs. Chan dan Mrs. Chan pun meringis kepedasan, namun tetap melanjutkan demi menghayati perannya berpura-pura menjadi Mrs. Chow, perempuan lain yang dicintai suaminya. Betapa menyakitkan. Betapa menyedihkan. Ngilu.

Pertemuan demi pertemuan. Diskusi demi diskusi. Kepedihan yang mereka gali-gali sendiri akibat pengkhianatan yang dilakukan pasangannya, justru mengantarkan mereka pada babak lain. Kesamaan nasib akibat memiliki pasangan yang berselingkuh, malah membuat hati mereka bertaut. Di sisi lain, ada kegelisahan dan kesepian yang berkelindan di hati masing-masing yang minta dihangatkan dengan kehadiran satu sama lain. Namun, keduanya tidak bertindak terlalu jauh seperti yang dilakukan pasangannya. Mereka saling mengisi ruang di hati dengan saling menyentuh tangan, atau berpelukan ketika berusaha memeragakan adegan perpisahan atau ketika Mrs. Chan menangis sesengukan akibat berlatih meminta  suaminya mengakui perselingkuhan. Ternyata berpura-pura tegar memang pedih dan sangat menyakitkan. “Aku tidak menyangka ternyata sesakit ini,” ucap Mrs. Chan. Duh, kok saya merasa pedih sendiri. (Ealah, dilarang curcol! 😆)

Lagi-lagi perasaan di antara mereka harus diuji ketika Mr. Chow pergi ke Singapura, apakah sungguhan, atau tercipta hanya akibat luka pengkhianatan?

Film produksi tahun 2000 yang disutradarai Wong Kar-wai ini saya rekomendasikan jika Anda ingin menonton drama dengan kualitas yang jempolan.

Sepanjang adegan dalam film ini dibuat sangat efektif. Tidak boros dialog. Kegelisahan, kesepian, amarah, galau dan sedih yang berlarat-larat cukup digambarkan dari gestur, mimik muka, warna-warni ruangan yang suram, rintik hujan, asap rokok. Angel kamera seringkali hanya menyorot adegan dari arah selasar, yang memenuhi setengah, bahkan sepertiga layar. Bayangkan dari setengah layar itu, Mrs. Chan duduk sambil bersandar di dinding, sementara di hadapannya uap mengepul dari ketel air, dan matanya malah memandang kejauhan, menggambarkan pikiran yang sedang berkelana. Estetik sekali! Saya gemas ingin mematikan kompor! Kali lain adegan ketika keduanya berteduh kehujanan, saya gemas, kenapa Mr. Chow tidak memeluk atau memberikan jasnya agar Mrs. Chan tidak kedinginan.

Saya ingin berteriak, “aaarggh!” penuh emosi ketika Mrs. Chan menyusul Mr. Chow ke Singapura, masuk kamarnya, tapi tidak bertemu. Dan Mrs. Chow pun sama sekali tidak berusaha mencari Mrs. Chan. Adegan ditutup dengan Chow yang mengucapkan rahasia dan perasaannya di sebuah lubang di kuil di Kamboja, lalu menutup lubang tersebut dengan tanah. Simbolisasi kisah rahasia masa lalu mereka yang ingin dia kubur dan tidak perlu diketahui siapa pun.

“Seperti menatap dari jendela yang berdebu.
Masa lalu adalah hal yang bisa dia lihat, tapi tak bisa menyentuh.
Semua yang dia lihat samar dan tidak jelas.”

Kalimat puitis di atas adalah penutup dalam film,  mengantar saya tidur nyenyak tadi malam, walau menyisakan gaung tanya yang panjang juga dalam hati saya: mengapa cinta begitu menyakitkan? Cinta itu selisipan, Kekasih.

Cinta téh pasalingsingan, Jungjunan.