KISAH DARI RUANG TUNGGU
Perawat memanggil sesuai antrean. “Bu Ratna, silakan masuk!” sehingga aku bersicepat memasuki ruangan dokter gigi. Namun sebelum beranjak, kusempatkan berkata kepada laki-laki tadi.
“Mas, maukah menungguku selesai?”
Lelaki itu mengangguk setelah sempat terperangah sejenak. Lalu dia duduk dan membuka buku Pangeran dari Timur. Novel sama yang sedang kubaca saat menunggu giliran dipanggil tadi.
Di dalam ruangan dokter gigi, aku tidak bisa berkonsentrasi penuh dengan tindakan sang dokter. Ingatanku kembali pada dua kali kunjungan sebelumnya. Geraham kiriku berlubang cukup parah hingga perlu beberapa kali perawatan sebelum ditambal dengan benar. Apalagi saraf gigiku sudah kena, begitu dokter bilang. Aku datang ke tempat praktik pribadinya pada pertemuan pertama. Namun, karena harus menyesuaikan dengan jadwal kerja, aku memintanya menggeser hari. Maka kunjungan kedua dan seterusnya berlangsung di klinik dekat kantorku, tempatnya berpraktik juga. Saat itu aku bertemu dengannya, lelaki yangselalu kebetulan memiliki jadwal kunjungan sama denganku.
Klinik itu merupakan tempat praktik bersama beberapa dokter, dokter umum dan beberapa dokter spesialis, termasuk dokter gigiku. Hari ini ketiga kalinya kudatangi klinik. Tiga kali itu pula kulihat dia menunggu sambil membaca. Menunggu itu menjengkelkan, rasanya waktu tersia-sia. Kebanyakan orang sekarang akan bermain ponsel saat menunggu. Maka ketika kulihat dia menunggu sambil membaca buku sepertiku terbitlah kegembiraan. Artinya aku tidak aneh-aneh amat. Temanku sering mengolok-olok setiap aku malah tenggelam dalam bacaan dan tidak menyadari kedatangan mereka saat menunggu janjian.
Walau pernah sekilas kulihat dia melirikku juga, aku lebih memilih meneruskan bacaan. Tidak minat bertanya. Terutama karena dua kali sebelumnya kami terhalang pasien lain. Pernah kusempatkan menoleh dan memberikan senyum kepadanya. Tapi senyumku membentur wajah bapak-bapak paruh baya di sebelahnya yang balas tersenyum dengan genit. Sial, padahal diam-diam kuakui sebetulnya lelaki itu cukup manis. Lelaki yang berparas menarik, akan tampak jauh lebih manis di mataku jika dia gandrung membaca buku. Barangkali ini hanya soal selera. Manusia cenderung menyenangi sesuatu yang membuatnya merasa memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu.
Hari ini kami duduk bersebelahan. Dia tidak berinisiatif mengobrol seperti yang kubayangkan. Aku tidak tahu buku apa saja yang dibaca pada kunjungan sebelumnya. Namun hari ini, kusimpulkan, selera bacaannya tidak jauh berbeda denganku. Apalagi membawa-bawa buku tebal ke mana-mana demi menuntaskan membaca bukanlah pekerjaan iseng seorang lelaki demi tampil keren atau menarik perhatian perempuan, menurutku. Artinya dia benar-benar gemar membaca.
Tidak banyak lelaki yang suka membaca dalam lingkaran pertemanan di kantorku. Mereka lebih senang memamerkan ponsel keluaran terbaru, atau berbincang soal motor sport incaran. Satu lagi, mereka sibuk bertaruh mendekati Rania, perempuan molek di divisi Humas. Pernah aku menguping pembicaraan mereka di kubikel sebelah, dan tiga orang temanku mengeluarkan uang 50 ribuan untuk bertaruh khayalan mana yang akan terwujud hari itu. Tak tanggung-tanggung, salah satu dari mereka berkata bahwa membayangkan bisa duduk berdekatan sambil mengelus paha mulus Rania, sementara yang lainnya hanya berani bertaruh mengajak Rania makan siang. Dasar lelaki, otaknya tidak jauh-jauh dari perburuan ragawi!
Maka ketika di ruang tunggu kulihat dia membaca buku, perasaanku bukan saja senang menjumpai lelaki yang kupikir isi kepalanya tidak melulu tentang visualisasi perempuan, tapi berkembang menjadi harapan. Jika boleh kubilang, lelaki itu pastilah salah satu jenis langka. Kesan intelek dari matanya saat kuminta menungguku saja tertangkap dengan kesan yang melambungkanku pada harapan. Konyol, memang. Berkenalan saja belum.
“Sudah selesai. Minggu depan ke sini lagi ya. Kita mulai tambal giginya,” suara merdu dokter gigi menyadarkan lamunanku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku keluar ruangan dan menjumpai lelaki itu masih menunduk menekuri buku yang dipegangnya di tangan kiri di atas pahanya. Siku kanannya bertelekan pada bagian atas bangku. Setelah mendengarku berdeham, lelaki itu mengangkat wajah, tersenyum dan buru-buru berdiri.
“Sudah selesai? Namaku Aksan,” dia mengulurkan tangan.
Senyum yang sudah kusediakan berkembang sempurna, urung kuikhlaskan. Mengapa namanya harus sama dengan mantan pacarku yang mengawini perempuan lain yang dihamilinya?
Setelah mengingat kembali nama Aksan yang satu itu, kupaksakan senyum kembali kepada Aksan di hadapanku saat ini. Kuhargai kesediaannya menungguku selesai di ruang dokter. Padahal urusannya sendiri sudah selesai.
“Suka baca novel juga ya, Mas? Selain Pangeran dari Timur, buku apa lagi yang Mas sukai?”
“Hmm… apa ya? Banyak.”
“Of Mice and Men?” kami serempak bertanya. Lalu terkekeh dan buru-buru menutup mulut menyadari kami masih di klinik. Kalian tahu sendiri, orang sakit apalagi pasien sakit gigi sensitif jika mendengar sedikit saja keributan, bukan?
“Apakah kita akan lanjutkan ngobrol di sini?” pertanyaan konyol dariku meluncur.
“Ide buruk, tentu saja. Hahaha. Oya, di ruko sebelah klinik ini ada kafe. Mau ke sana?”
Kafe berjarak sepelemparan batu itu jadi tempat tujuan setelah kami memastikan sedang tidak diburu waktu untuk mengerjakan hal lain atau janji temu. Sampai di depan kafe, kutepuk jidat. Aksan yang sedang bercerita tentang kopi favoritnyajadi heran.
“Kenapa? Apakah cerita itu mengingatkan pada sesuatu?” dahinya berkernyit.
“Bukan! Kenapa kita berdua bisa lupa kalau kita baru saja dari dokter gigi dan belum boleh ngopi?” aku menepuk jidat lagi kedua kalinya. Aksan tertawa.
“Ya sudah, kita cari air putih saja. Duduk di kursi taman itu, mau?” telunjuknya mengarah pada kursi kayu cokelat di taman kecil di kompleks pertokoan seberang.
“Bolehlah.”
Di sana akhirnya kami terdampar membicarakan banyak hal. Kesukaan kami pada buku-buku bacaan, komunitas yang kami ikuti, film favorit, dan pekerjaan kami. Aku lupa sejak kapan aku memiliki keberanian berbincang seperti ini lagi kepada lelaki asing yang baru saja ditemui di dokter gigi? Tampaknya Aksan pun lupa bahwa kami berdua beberapa jam lalu adalah dua orang asing yang baru saja berkenalan gara-gara sebuah buku. Jika ada orang lain yang melihat kami saat ini, pasti mengira kami teman lama saking akrabnya mengobrol. Aku melihat perubahan raut wajah Aksan juga yang menjadi lebih antusias setelah kupancing dengan kata kunci Dian Sastro. Aktris multitalenta satu itu memang idola banyak lelaki. Diam-diam aku berharap Aksan akan menyatakan selera yang berbeda.
“Dian Sastro itu pintar. Kecantikannya justru makin timbul karena dia pintar. Dia gemar olahraga, jadi sutradara, produser, bahkan dosen. Kamu tahu, dia baca buku-buku bagus. Sylvia Plath, Budi Darma, Adam Grant, dan masih banyak lagi.” Dengan lancarnya Aksan menyebutkan sederet kelebihan aktris perempuan satu itu.
“Yahhh… ternyata seleranya gak jauh-jauh. Kenapa semua lelaki yang kutemui ngefans banget sama Dian Sastro?” aku menggumam sedikit kesal.
“He-he-he. Selera wajar ya?” ternyata kuping Aksan tajam juga.
“Eh, kamu sudah punya pasangan?” pertanyaan tak terduga dari orang yang baru saja kenal.“Aku baru engah pas lihat cincin di jarimu.”
Akhirnya. Kupikir pertanyaan itu tidak akan pernah mencuat. Saat meminta Aksan menunggu di dokter tadi, aku tidak berpikir harus menguak kisah di balik cincin di jari manisku. Dan mengapa pertanyaannya justru “pasangan”, bukan “pacar” atau “suami”?
Mestinya kuanggap pertanyaan itu kurang sopan karena walau sudah berbincang banyak hal, urusan pribadi tidak perlu dibahas dulu. Aku diam memutar otak bagaimana sebaiknya menjawab.***
*pantikan ide dari cerpen Hermawan Aksan
Ratna Ayu Budhiarti menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, fiksimini, dan beberapa naskah drama. Menulis 9buku tunggal (puisi dan cerpen), serta lebih dari 60 antologi bersama. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Korea, dan Rusia. Beberapa karya bisa dilihat di laman https://ratnaayubudhiarti.wordpress.com