Momok Pengadaan TI: Harga Kemahalan, Spek Ketinggian

Momok Pengadaan TI: Harga Kemahalan, Spek Ketinggian

Ardhi Suryadhi - detikInet
Jumat, 02 Okt 2015 11:34 WIB
Rayyan Sugangga (Ist.)
Jakarta -

Menggelar pengadaan barang dan jasa TI sekilas terlihat gampang. Padahal saat dijalani, ada saja masalah yang datang menghinggapi.

Menurut Rayyan Sugangga, peneliti dari lembaga riset Sharing Vision, berdasarkan survei internal mereka, ada sekitar 70% perusahaan diketahui pernah mengalami masalah dalam pengadaan TI.

Isu yang sering memicu masalah di antaranya terkait kontrak dan SLA (Service Level Agreement) sebesar 67%, harga (67%), penentuan vendor (47%), requirement (47%) dan tender (13%).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rayyan menjelaskan, proses pengadaan barang dan jasa di suatu perusahaan biasanya dimulai dari kajian (feasibility study). Lalu berlanjut ke pembuatan dokumen RKS (Rencana Kerja Syarat) untuk urusan adiministrasi, TOR (Term of Reference) yang sifatnya lebih ke teknis, setelah itu disetujui lalu membuat HPS (Harga Perkiraan Sendiri), baru berlanjut ke draft kontrak dan dijalankan pengadaannya.



"Jadi kontrak dan SLA itu terkait dengan hak dan kewajiban penyedia jasa. Dan ini ditentukan setelah pemenang ditentukan. Sementara feasibility study adalah yang paling utama," lanjutnya saat berbincang dengan detikINET.

Kesalahan yang terjadi terkait kontrak dan SLA ini biasanya perusahaan sering terlewat -- atau kurang detail -- untuk menulis hal-hal penting yang ada di kontrak. Sementara soal harga biasanya titik masalahnya karena harga yang sudah deal belakangan justru dianggap tak wajar.

"Penyebabnya macam-macam, bisa jadi saat perencanaan analisa penentuan harga kurang akurat. Lalu penentuan vendor, ini biasanya saat evaluasi kurang melihat dari sisi dokumen. Bisa saja mereka (vendor) mengaku punya kantor di Jakarta, biasanya kalau kita kurang yakin, kita datangi langsung kantor tersebut. Atau cek langsung ke klien yang pernah menggunakan produk mereka. Hal ini penting untuk memastikan si vendor bisa mengerjakan kontrak yang sudah disepakati," papar Rayyan.



Sementara soal requirement yang menjadi isu biasanya saat ingin membeli suatu produk TI ternyata saat penyusunan spesifikasi -- mungkin sudah ditentukan -- vendor sudah ditunjuk dan sudah bawa barangnya tetapi malah tidak cocok dengan sistem eksisting.

"Misalnya, suatu perusahaan butuh spek 10 tapi karena gak teliti belinya spek yang 50. Yang ada nanti harga akan melambung dan dipertanyakan. Ibaratnya, butuhnya cuma sangkar kayu tapi belinya sangkar emas," ujar Rayyan.

Memang, memilih spesifikasi yang lebih tinggi dari sistem yang eksisting boleh-boleh saja dilakukan. Asalkan ada analisis sebelumnya dan disertai alasan bahwa pengadaan barang atau jasa TI yang baru ini memilih spesifikasi lebih tinggi sekaligus untuk mengakomodir kebutuhan perusahaan 5-10 tahun lagi. "Jadi selama feasibility study-nya jelas, gak masalah," tegasnya.

Sementara terkait penunjukan pemenang tender yang harus dipegang adalah sebaiknya tidak melakukan penunjukan langsung. Artinya, tender tersebut harus diikuti oleh beberapa perusahaan agar lebih aman.

"Dalam riset kami (Sharing Vision-red.) sebanyak 58% perusahaan mengaku pernah mengalami masalah pada saat memilih vendor pengadaan TI. Sedangkan 64% di antaranya kesulitan menentukan perbandingan harga dan 45% kesulitan dalam membandingkan spesifikasi untuk masing-masing vendor," Rayyan memaparkan.

Sementara 86% perusahaan menaku pernah terjadi ketidaksesuaian antara estimasi HPS dengan realitasnya. Dimana penentuan estimasi HPS untuk software adalah yang paling susah karena sering dilakukan modifikasi.





(ash/fyk)