Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN, Indonesia

Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global

A Brief Proposal on Global Islamic Calendar Unification

Seminar Fikih Falak 2017

Pendahuluan

Penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah sangat terkait dengan waktu ibadah puasa Ramadhan, Idul Fitri, puasa Arafah, dan Idul Adha bagi ummat Islam secara global. Ada ibadah puasa yang status hukumnya wajib, sunnah, dan haram. Berpuasa pada bulan Ramadhan wajib hukumnya dan puasa pada hari Arafah 9 Dzulhijjah sunnah. Sementara puasa pada Idul Fitri (1 Syawal) dan Idul Adha (10 Dzuhijjah) serta hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah) hukumnya haram.

Penentuan awal bulan pada kalender Hijriyah terutama dimaksudkan untuk memberikan indikasi waktu awal ibadah puasa serta penentuan Idul Fitri dan Idul Adha. Hal yang krusial adalah dalam penentuan Idul Fitri dan Idul Adha yang dirayakan secara global. Bila terjadi perbedaan antarnegara, maka timbul keraguan waktu yang akan dirujuk. Hal inilah yang mendorong upaya untuk merumuskan kalender yang seragam secara global. Karena kalender juga dimaksudkan untuk sedapat mungkin menyatukan waktu ibadah, maka kaidah fikih penentuan awal bulan juga harus dipertimbangkan.

 

Metode Penentuan Awal Bulan

Tanpa menyebut rincian dalil fikihnya, secara umum metode penentuan awal bulan hijriyah yang terkait waktu ibadah terbagi dua pendapat. Pendapat pertama mendasarkan pada rukyatul hilal (bulan sabit muda) pada saat maghrib akhir tanggal 29 bulan Hijriyah. Pendapat kedua, cukup mendasarkan pada hasil perhitungan (hisab) dengan kriteria tertentu. Persoalannya, ketampakan hilal bisa berbeda-beda antarwilayah, baik karena sifat fisik hilalnya maupun karena faktor cuaca. Sementara kriteria hisab pun masih beragam.

Untuk mendapatkan kesatuan ummat dalam penentuan awal bulan Hijriyah, langkah yang harus dilakukan adalah mensinergikan antara rukyat dan hisab dengan cara (1) menyatukan kriteria hisab dan (2) kriteria yang dirumuskan harus memperhatikan kriteria ketampakan (visibilitas) hilal. Upaya tersebut diharapkan bisa menyatukan antara metode rukyat dan hisab serta menghilangkan perbedaan keputusan hisab.

 

Proposal Kongres Istanbul 2016

Pada Kongres Internasional Kesatuan Kalender 2016 di Istanbul Turki telah direkomendasikan sistem kalender global tunggal. Seluruh dunia mengawali awal bulan hijriyah pada hari yang sama (Ahad – Sabtu), misalnya awal Ramadhan jatuh Senin seragam di seluruh dunia. Sistem kalender global menggunakan kriteria visibilitas hilal:

 

Awal bulan dimulai jika pada saat maghrib di mana pun elongasi bulan (jarak bulan-matahari) lebih dari 8 derajat dan tinggi bulan lebih dari 5 derajat.

 

Dengan catatan, awal bulan hijriyah terjadi jika kriteria visibilitas rukyat terpenuhi di mana pun di dunia, asalkan di Selandia Baru belum terbit fajar.

Gambar 1. Kesimpulan Kongres Istanbul Turki 2016

 

Kriteria tinggi bulan minimal 5 derajat dan elongasi minimal 8 derajat adalah kriteria optimistik, tetapi tidak cukup untuk diterapkan dalam tinjauan global. Garis tanggal visibilitas hilal paling Timur umumnya berada di sekitar ekuator. Wilayah daratan yang paling Barat adalah Amerika Selatan. Wilayah daratan paling Timur adalah Samoa. Beda waktu antara Amerika Selatan dan Samoa 20 jam, artinya secara rata-rata beda tinggi bulan 20/24 x 12o = 10o dari wilayah Timur dan wilayah Barat. Beda waktu antara Amerika Selatan dan Asia Tenggara 14 jam, secara rata-rata beda tinggi bulannya 7o. Bila ketinggian 5o terjadi Amerika Selatan, tinggi bulan di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik masih di bawah ufuk.

Jadi, dengan kriteria Istanbul 2016 akan timbul masalah pada wilayah yang posisi bulan masih negatif di wilayah Timur, sementara kriteria visibilitas hilal sudah terpenuhi di wilayah Barat. Dalam kaidah fikih, hari yang meragukan perlu dihilangkan dengan konsep istikmal (menyempurnakan bulan berjalan menjadi 30 hari). Artinya wilayah Barat harus menunggu masuknya tanggal di wilayah Timur, setidaknya posisi bulan sudah di atas ufuk.

Gambar 2. Garis Tanggal Internasional di Pasifik dan zona waktu (sumber: internet)

 

Proposal Baru

Pada dasarnya  implementasi konsep kalender didasari pada tiga prasyarat yang harus dipenuhi sekaligus: (1) adanya kriteria tunggal, (2) adanya kesepakatan batas tanggal, dan (3) adanya otoritasl tunggal. Kriteria Istanbul 2016 bermasalah ketika di wilayah Barat sudah memenuhi kriteria, tetapi di wilayah Timur bulan masih berada di bawah ufuk. Kriteria tersebut tidak dapat diterima oleh negara-negara di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, seperti Indonesia. Perlu diusulkan kriteria alternatif.

Dari hasil rukyat jangka panjang, diketahui bahwa elongasi minimal agar hilal cukup tebal untuk bisa dirukyat adalah 6,4 derajat (Odeh, 2006). Data analisis hisab 180 tahun saat matahari terbenam di Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu (Djamaluddin, et. al., 2016) juga membuktikan bahwa elongasi 6,4 derajat juga menjadi prasyarat agar saat maghrib bulan sudah berada di atas ufuk (lihat Gambar 3 dan Gambar 4). Pada grafik terlihat bahwa pada elongasi 6,4 derajat, posisi bulan semuanya positif, sedangkan bila elongasi kurang dari 6,4 derajat bulan masih berada di bawah ufuk atau ketinggiannya negatif.

Gambar 3. Sebaran data tinggi dan elongasi bulan untuk Banda Aceh selama 180 tahun.

Gambar 4. Sebaran data tinggi dan elongasi bulan untuk Pelabuhan Ratu selama 180 tahun.

 

Dari data rukyat global, juga diketahui bahwa tidak ada kesaksian hilal yang dipercaya secara astronomis yang beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat (lihat Gambar 5 dan gambar 6). Karena pada saat matahari terbenam tinggi matahari -50’, maka beda tinggi bulan-matahari 4 derajat identik dengan tinggi bulan (4o -50’=) 3o 10’, dibulatkan menjadi 3o.

Gambar 5. Ilyas (1988) memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi bulan-matahari minimum 4o (tinggi bulan minimum 3 derajat).

Gambar 6. Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001)  memberikan data visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulatan putih). Secara umum visibilitas hilal mensyaratkan beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4o .

Berdasarkan data astronomis tersebut, maka diusulkan kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat) dengan dua parameter: elongasi bulan minimal 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat. Rujukan yang digunakan adalah Indonesia Barat. Alasannya, beda waktu antara Indonesia Barat dan Samoa di Batas Tanggal Internasional adalah 6 jam (lihat Gambar 2), artinya beda tinggi bulan 6/24 x 12o =3o. Jadi ketika di Indonesia Barat tinggi bulan sudah di atas 3o, di wilayah sekitar Garis Tanggal Internasional tinggi bulannya sudah positif atau di atas ufuk. Dengan tinggi minimal 3 derajat di Indonesia Barat, di Timur Tengah tinggi bulan lebih dari 5 derajat, sesuai dengan tinggi minimal pada kriteria Istanbul 2016. Jadi kriteria baru yang diusulkan sebagai berikut:

 

Awal bulan Hijriyah dimulai ketika di wilayah Barat Indonesia elongasi bulan lebih dari 6,4o dan tinggi bulan lebih dari 3o.

 

Batas tanggal kalender Islam yang digunakan adalah Garis Tanggal Internasional seperti yang digunakan pada sistem kalender tunggal usulan Kongres Istanbul 2016. Keberlakuan secara global pada dasarnya mengikuti pendapat fikih keberlakuan wilayatul hukmi (satu wilayah hukum). Artinya sistem itu bisa diterapkan ketika seluruh dunia menyatu dengan satu otoritas tunggal atau otoritas kolektif yang disepakati. Saat ini otoritas tunggal dunia Islam belum ada. Namun, sudah ada Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang bisa dijadikan sebagai otoritas kolektif. OKI yang akan menetapkan Kalender Islam Global dengan menggunakan kriteria baru tersebut untuk diberlakukan di seluruh dunia.

 

Kesimpulan

            Untuk penyatuan Kalender Islam Global, diusulkan tiga hal berikut yang tidak terpisahkan:

  1. Kriteria awal bulan adalah elongasi bulan minimal 6,4o dan tinggi bulan minimal 3o pada saat maghrib di Indonesia Barat.

  2. Batas Tanggal Internasional dijadikan sebagai batas tanggal Kalender Islam global.

  3. OKI (Organisasi Kerjasama Islam) menjadi otoritas kolektif dalam menetapkan Kalender Islam Global.

 

Rujukan

Djamaluddin, T., Raharto, M., Khafid, Nurwendaya, C., Setyanto, H., dan Utama, J. A. 2016, Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah,  https://tdjamaluddin.wordpress.com/2016/04/19/naskah-akademik-usulan-kriteria-astronomis-penentuan-awal-bulan-hijriyah/

Caldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.

Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.

Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.

4 Tanggapan

  1. […] Kalender Global Hijriah Tunggal”. Kepala LAPAN, mewakili delegasi Indonesia, memaparkan Proposal Penyatuan Kalender Islam Global. Berikut ini rumusan hasil Seminar Internasional Fikih Falak berupa Rekomendasi Jakarta […]

  2. […] bahas di naskah akademik yang semula disiapkan untuk Munas MUI kemudian dijadikan sebagai substansi proposal penyatuan kalender Islam global untuk Seminar Internasional Fikih Falak 2017.  Alhamdulillah pada seminar internasional itu telah […]

  3. […] 2017 konsep kriteria baru itu diajukankan sebagai Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global pada Seminar Fikih Falak dan masuk pada rumusan Rekomendasi Jakarta […]

Tinggalkan komentar