Tulisan ini sebenarnya tulisan lama, sepertinya sengaja di tulis untuk merespon situasi
menjelang Pemilu 2009 yang hampir seluruh peserta Pilplres adalah Anak Kandung
Orde Baru.
Kami sengaja memposting ulang di Blog kami yang tidak
seberapa ini untuk mengenang sang penulis legendaris, Aktivis Pro Demokrasi George Junus Aditjondro. Yang telah
meninggal dunia di Palu, Sulawesi Tengah, pada hari sabtu, 10 Desember 2016 lalu.
Semoga tulisan-tulisan beliau mengisnspirasi kita semua khususnya kaum muda
untuk tetap berada di garis depan dalam mempertahankan capaian Demokrasi yang
telah di raih para pendahulu kita.
Keluarga Cendana, sekarang terang-terangan berdiri di belakang
Gerindra, yang mencalonkan Letjend. (Purn.) Prabowo Subianto sebagai Presiden
RI ke-7. Ini diungkapkan Jumat lalu (6/3), di depan massa di muka rumah orang
tua Soeharto di Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY, oleh
Probosutedjo, adik tiri Soeharto yang sering jadi juru bicara Keluarga Cendana.
Probosutejo sudah pernah mengeluarkan pernyataan serupa, yang
kontan ditanggapi mantan Ketua MPR Amien Rais waktu itu. Menurut Amien,
dukungan Cendana malah merugikan Prabowo, karena akan mempersempit dukungan
bagi dia (Okezone, 23/1).
Mengapa? “Keluarga Cendana mewakili masa lalu. Padahal Prabowo,
yang dikesankan dalam iklan TV, mau mengubah Indonesia, mau buat
terobosan-terobosan baru. Saya kira, reformasi sudah mengucapkan selamat
tinggal kepada Orde Baru. Sekarang malah ada tokoh yang mengajak Prabowo ke
zaman baheula. Ini akan merugikan
dia,” kata mantan Ketua MPR, yang ikut memotori gerakan menjatuhkan Presiden
Soeharto, sebelas tahun lalu.
Pernyataan Probosutejo memang penuh kontroversi. Dalam kampanye
di Kemusuk, ia menyatakan, dalam tiga tahun setelah Prabowo menjadi Presiden,
setiap rakyat akan memiliki tanah minimal dua hektar (Harian Yogya, 7/3). Padahal keluarga besar Prabowo sendiri
menguasai lebih dari tiga juta hektar tanah dari Aceh sampai Papua.
Janji pembagian tanah seluas dua hektar buat setiap keluarga
tani, mustahil dapat diwujudkan. Kecuali kalau Prabowo dan adiknya, Hashim
Djojohadikusumo, bersedia membagi jutaan hektar tanah yang mereka kuasai dalam
bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi dan aren,
serta ratusan ribu hektar hutan pinus, kepada jutaan petani lapar tanah.
Bagaikan zamrud di katulistiwa, tanah-tanah pencetak dollar bagi kedua bersaudara
Djojohadikusumo tersebar dari Aceh ke Papua. Di sekeliling Danau Lot Tawar di
Aceh, mereka menguasai konsesi PT Tusam Hutani Lestari seluas 96.000 ha,
terentang dari Kabupaten Bener Meriah ke Kabupaten Aceh Tengah. Konsesi itu
sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Lhokseumawe. Di
Sumatera Barat dan Jambi mereka menguasai perkebunan kelapa sawit seluas lebih
dari 30.000 ha di bawah PT Tidar Kerinci Agung.
Di Kaltim, mereka telah mengambilalih konsesi hutan PT Tanjung
Redep HTI seluas 290.000 ha, yang dulu dikuasai Bob Hasan. Juga di Kaltim,
mereka telah mengambilalih konsesi hutan seluas 350.000 ha dari Kiani Group
yang dulu juga dikuasai Bob Hasan dan mengganti namanya menjadi PT Kertas
Nusantara, berkongsi dengan Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Perdagangan di
era Habibie. Masih di provinsi yang sama, mereka menguasai konsesi hutan PT
Kartika Utama seluas 260.000 ha, PT Ikani Lestari seluas 260.000 ha, serta
perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15.000 ha lebih.
Bergeser ke Indonesia Timur, di Pulau Bima (NTB), mereka
memiliki budidaya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektar untuk
bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana
membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585.000 ha. Di Papua, mereka
juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas
lebih dari 15 trilyun kaki kubik.
Konsesi Migas
Semua ekspansi bisnis itu serta kampanye Gerindra itu dibiayai
dari keuntungan Hashim dari bisnis migas. Di masa kejayaan Soeharto, Hashim dan
Arifin Panigoro diajak sang Presiden bermuhibah ke negara-negara eks Uni Soviet
yang kaya migas, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan, dan membeli konsesi-konsesi
migas di sana.
Krisis moneter yang disusul jatuhnya Soeharto, membuat para
keluarga dan kroni Istana harus segera melunasi hutang-hutang mereka yang
dikelola BPPN. Arifin melepas ladang migasnya di Asia Tengah tahun 2000,
sedangkan Hashim baru enam tahun kemudian melepas ladang migasnya di
Kazakhstan, yang dikuasainya melalui Nations Energy Co. yang bermarkas di
Calgary, Kanada. Aset itu dijualnya kepada CITIC Group (RRT) seharga US$ 1,91
milyar, atau Rp 17,2 trilyun (Trust,
12-18 November 2007, hal. 11; Swasembada,
24 November-3 Desember 2008, hal. 113-114, 116; Globe Asia, Desember 2008, hal. 49).
Pelepasan ladang migas Kazakhstan tidak mengakhiri kiprah Hashim
di bidang migas, sebab di Azerbaijan ia masih memiliki ladang migas yang juga
dioperasikan oleh Nations Energy Co. Tahun lalu, ladang itupun ia lepas, karena
“harganya bagus”, kata Hashim kepada Swasembada.
Namun hasil penjualan ladang migas di Kazakhstan saja lebih dari
cukup untuk membiayai kampanye Gerindra. Saldo partai ini paling besar di
antara 38 parpol peserta Pemilu 2009, yakni Rp 15 milyar (Seputar Indonesia, 7/3).
Keluarga besar Djojohadikusumo ikut mendukung kampanye Gerindra.
Selain Hashim sebagai penyandang dana utama, jabatan Bendahara dipegang oleh
keponakan Prabowo, Thomas Djiwandono. Putra sulung mantan Gubernur BI,
Soedradjad Djiwandono, abang ipar Prabowo, juga menjabat sebagai Direktur
Comexindo International (CI) milik Hashim. Dengan investasi sebesar US$ 6 juta,
CI membawahi perkebunan karet, teh, dan jagung seluas total 1.200 ha di Jabar
dan Minahasa (Sulut), sementara 21.000 ha sedang diurus di Kaltim. Juga ratusan
ribu hektar perkebunan enau untuk produksi gula dan ethanol sedang dirintis di
Minahasa dan Papua (Swasembada, 24
November-3 Desember 2008, hal. 115-117).
Jadi pertanyaannya sekarang: seandainya Prabowo berhasil meraih
kursi RI 1, bagaimana mencegah rezim mendatang tidak mengulangi kesalahan era
Soeharto, waktu negara dikelola sebagai imperium bisnis keluarga besar
presiden?
(SUMBER: Suara Pembaruan, 10 Maret 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar